Populasi Jakarta yang kian hari membeludak karena pertumbuhan internal maupun eksternal. Populasi penduduk yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan pun terbatas. Pemaksaan kebutuhan terjadi dimana-mana. Mungkin bukan lagi bicara soal kebutuhan pangan tapi juga kebutuhan akan gerak tepatnya jalan dimana kita berpijak. Tiap ruas jalan sudah dipadati dengan mal-mal megah ketimbang taman kota, dan juga kendaraan beroda yang kian menjadi raja-raja jalanan. Namun ada satu alat transportasi yang menurut saya cukup menyelamatkan mobilisasi setiap warga Jakarta setiap harinya, yaitu Kereta Api Ekonomi.
Kereta zaman dulu kala mungkin lebih sering digunakan untuk transportasi barang dan tawanan perang. Sekarang kereta api menjadi pilihan transportasi warga Jakarta setiap harinya. Dan kalau mau dipikir kritis lagi, ada berapa banyak masyarakat Jakarta yang bisa diselamatkan dari kepadatan jalan raya setiap harinya? Ada berapa banyak warga Jakarta yang dapat mencari lapangan pekerjaan di dalam kereta? Pertanyaan ini muncul ketika saya melamun dan memperhatikan aktivitas penumpang di dalam kereta api.
![]() |
sumber : internet |
Kereta Depok-Jakarta pagi itu sangat penuh hingga manusia-manusia memenuhi setiap jengkal atap gerbong. Pemandangan yang sangat indah dan tidak bisa lagi dibilang ironis. Sebuah pemandangan yang mungkin hanya bisa dilihat di Indonesia dan India. Ada dua alasan yang bisa saya simpulkan sendiri tentang keberadaan orang-orang atap gerbong itu. Pertama, mereka mungkin sudah tidak tahu mau dibawa kemana badan mereka selain di atas gerbong kereta. Kedua, mereka ingin menikmati udara segar pagi hari yang tidak bisa didapatkan jika mereka berada di dalam gerbong kereta. Ini pendapat bodoh-bodohannya saya aja sih sebenarnya. Lagi keliatannya mereka tidak takut dengan berita-berita kematian akibat tersengat aliran kabel listrik kereta api.
Di sisi lain, orang-orang dalam gerbong kereta api juga sudah menjadi resisten dengan keberadaan kereta api ekonomi tujuan Jakarta terebut. Mulai dari anak sekolah, mahasiswa, pekerja kantoran, dan pedagang menjadi satu di dalam kereta. Ibarat kata, melting pot, kereta ekonomi menjadi melting pot warga Jakarta tanpa harus memandang status sosial.
Pekerja kantoran yang terlihat sudah resisten dengan keadaan kereta ekonomi biasanya membawa kursi lipat kecil. Benda ini cukup fleksibel untuk diletakan dimanapun ketika tidak ada lagi space tempat duduk di kereta (promosi). Tapi tidak selamanya benda ini fleksibel karena sewaktu-waktu lantai kereta ekonomi pun hanya boleh dipijaki oleh kaki-kaki yang berjejal. Keadaan ini terjadi ketika jumlah penumpang sudah diambang batas kapasitas kereta. Dalam situasi seperti inilah, saya bisa melihat sisi lain dari Jakarta yang tidak hanya diidentikan dengan macet di jalan raya.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi ketika keadaan kereta ekonomi sudah cukup padat, masih saja penjual berlalu lalang dan pengamen bernyanyi riang. Mereka terus berjalan menawari barang dan jasa yang mereka miliki. Sesaat saya merasa kesal dan mengeluh dengan keadaan seperti ini. Tapi, saya sadar bahwa hiruk pikuk mereka bukanlah kesalahan mereka.
Ibu mana yang mau membiarkan anaknya menangis karena kepanasan di dalam gerbong kereta? Ayah mana yang mau membiarkan anaknya meminta-minta koin yang mungkin tidak juga bisa mengisi perut mereka dalam sehari? Mereka bersikap seperti itu karena adanya tuntutan kehidupan. . Ibu dengan anak yang menangis memilih kereta karena tidak ada transpotasi yang lebih cepat dan murah lagi di Jakarta selain kereta ekonomi. Ayah dan anak peminta-minta bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan perut mereka.
Di dalam kotak besi yang cukup usang ini, para penawar barang dan jasa rela hilir-mudik di tengah kesesakan karena mereka masih butuh pekerjaan dan uang. Dan mungkin mereka tidak yakin untuk mencari pekerjaan di luar gerbong. Para penumpang juga bersikeras mengadu sikut untuk menapaki kaki di pintu gerbong yang sudah berjejalan manusia. Setiap warga Jakarta melangsungkan hidupnya dan bertahan dengan kondisi ibukota Jakarta setiap harinya di dalam gerbong-gerbong tersebut. “Apakah kehidupan akan lebih baik di luar gerbong?”
(jadi pengen bikin dokumenter ttg kereta ekonomi di Jakarta deh,hehe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar