![]() |
Morotai ( Timur Laut) |
Perjalanan ke Morotai saya lakukan saat saya masih kelas 3 SD. Rute yang paling sering ditempuh untuk sampai di Morotai adalah jalur laut via Tobelo. Kebetulan, Tobelo adalah kota kelahiran ayah saya. Jadi, semua itu seperti sudah ditentukan Tuhan. Untuk sampai ke tempat kelahiran Ibu saya harus melalui tempat kelahiran Ayah saya, hehe.
Dari kota Tobelo, saya menumpangi sebuah kapal dengan daya tampung 12 orang. Langit masih gelap. Kira-kira jam 5 subuh kapal bergerak mengikuti arus lautan. Dilihat dari daya tampungnya, bisa dibayangkan sebesar apa kapal ini. Belum lagi ditambah barang-barang penumpang. Kapal ini pun terasa padat sekali. Kapal juga tidak seluruhnya beratap. Hanya ada ruang kecil beratap, yaitu tempat setir kapal. Matahari mulai bergerak menerangi lautan. Mata saya pun terbuka karena silaunya sinar matahari yang menyorot kapal kami. Sekitar jam 9, kulit saya mulai memerah. Saya pun berlindung ke tempat setir kapal untuk sebentar menghindar dari matahari yang membakar laut pagi menjelang siang itu.
![]() |
sumber: internet |
Setelah 5 jam berlalu, kapal pun menemukan labuhannya. Saya disambut dengan nenek dan keluarga yang mungkin sudah lama merendam kaki mereka di pinggir pantai. Saya lupa bagaimana ekspresi saya ketika disapa oleh keluarga di morotai. Yang pasti saya sangat kaku karena saya belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Dan saya pun merasa sangat berbeda dengan mereka. Ibaratnya, badan saya bau permainan canggih anak Jakarta, mereka bau laut.
Mereka sama sekali tidak tersentuh dengan hal-hal yang saya alami di Jakarta.Televisi saja cuma ada 1 di rumah Kepala Desa. Kalau mau nonton juga ngga bisa. Isinya bapak-bapak semua. Yang bikin beda lagi adalah warna kulit saya. Sepertinya semua mata tertuju kepada saya. Betul-betul seperti orang asing saat itu. Meskipun kehidupan sederhana, mereka betul-betul menikmatinya.
Saya yang pendiam terkadang hanya terpaku duduk melihat anak-anak asik bermain. Saya hanya bisa diam karena saya tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka mengambil lidi dan menusuk-nusukan lidi itu ke lubang pasir di pinggir pantai. Apa coba? Tusuk-tusuk lidi. Ternyata setelah beberapa lama mengamati (lemah otak), saya baru mengerti kalau mereka sedang merayu ‘katang’ atau disebut dengan kepiting. Lidi itu menarik perhatian kepiting untuk keluar dari dalam lubangnya. Setelah kepiting keluar, mereka pun mulai mempermainkan kepiting-kepiting kecil itu. Ada yang diadu, ada yang diiket pake tali kaya mobil-mobil kalo di Jakarta, ccckk.
Listrik masih sangat kurang. Setiap malam, masyarakat hanya berharap penerangan dari lilin yang biasanya dibuat dari kaleng coca-cola. Kaleng tersebut yang ditaro minyak dan sumbu. Dan asap dari lilin semacam itu bisa menghitamkan kulit. Jadi kalau pas bangun tidur, muka atau lubang hidung agak hitam ngga usah tanya kenapa, hehe. Yang membuat saya lebih terkejut adalah babi-babi berkeliaran bagai kucing di pinggir jalan. Yaampun, serem banget babi itam-itam kecil gitu berbaris lewat di tengah jalan. Takut banget diseruduk. Apalagi kalo malem-malem, keluar ga ada lampu, terus ada babi lewat, takut banget.
Nah, ada kebiasaan yang kurang baik meskipun itu memang sudah menjadi adat orang sana. Waktu itu kami sempat mengadakan ibadah di rumah. Setelah pendeta berkhotbah dan ibadah selesai, acara makan-makan pun dimulai. Tidak hanya makan-makan tentunya, pasti ada minum-minumya. Pendeta yang abis berkhotbah juga langsung mabok di tempat. Rumah nenek saya pun berubah sesaat seperti bar. Meja-meja digelar, perempuan dan laki-laki bermain kartu dan lainnya bermain Mahjong dengan minuman di kiri kanan mereka. Saya ingat sekali saya hanya bisa melihat dan terdiam. Ngga pernah ada di Jakarta, kalo abis berdoa langsung mabok-mabok. Dan perlu diketahui bahwa minuman khasnya bernama Cap Tikus.
Cap tikus ngga cuma ada di Maluku tapi juga di Manado. Saya kurang tau kenapa disebut cap tikus. Tapi yang jelas, kalo kebanyakan minum cap tikus bisa bikin mati. Ibaratnya kaya obat racun untuk tikus. Karena cairannya membakar paru-paru.
Pada dasarnya, Cap Tikus berasal dari Pohon Saguer atau Aren yang tumbuh di hutan. Air dari buah dan batang Saguer dimasak dalam tabung-tabung. Saya sempat bermain ke hutan dan melihat Alm. kakek menyuling air saguer. Awalnya air berwarna keruh. Air tersebut bisa disuling berhari-hari, hingga nanti akhirnya bisa berubah menjadi jernih, sejernih air putih. Kakak saya pernah sedikit mencoba karena dia pikir itu air putih. Sedikit saja sudah bikin pusing apaagi satu gelas penuh bahkan bergelas-gelas.
Dan ternyata lagi, dulu kakek saya punya 12 ekor anjing. Mereka diurus menjadi anjing-anjng tangguh pemburu babi hutan. Tapi karena faktor kebutuhan manusia, anjing pun juga ikut disantap. Oia, saya tidak pernah memanggil kakek dengan panggilan kakek, melainkan ‘Tete’. Oops.. jgn berpikir jorok Memang kita orang maluku memanggil kakek dengan kata ‘Tete’. Jadi buat yang nanti sampai di Maluku, jangan kaget kalo ada orang ngomong:”Tete saya”. Aneh sih di pendengaran, apalagi kalo perempuan yang ngomong, hehehe.
Morotai mungkin akan lebih diperhatikan setelah pemerintah mengadakan Sail Morotai tahun depan. Dari berita yang ada, pemerintah akan mengeluarkan dana besar untuk memperbesar daya listrik di Morotai. Saya berharap tahun depan bisa datang kesana dan mengembalikanmemori kecil di Desa Leo-Leo, Morotai Selatan.