Tibalah saya dan tiga teman
lainnya di tempat pengungsian alias di bawah fly sheet yang terpancang di dahan-dahan pohon. Disitu ada beberapa
laki-laki pemilik fly sheet, kompor
gas kecil, dan panci berisi rebusan air. Indahnya melihat rebusan air dan teh
celup yang siap diseduh dalam gelas plastik. Kami duduk dengan manis sekali
malam itu. Sikap pemalu kami pun disapa ramah dengan segelas teh hangat dan
sepiring mi goreng. Inilah hikmah dibalik ancaman. Entah bagaimana keadaan
teman-teman di tenda-tenda evakuasi lainnya. Apakah mereka juga disapa dengan
ramah seperti kami disini. Yang jelas saya sangat menikmati perbincangan
basa-basi dengan mas-mas Jawa ini sambil memperhatikan kostum yang mereka
kenakan. Saya pikir kostum mereka begitu hangat dan lengkap melindungi sekujur
tubuh masing-masing. Kaos kaki, topi rajut, jaket, celana panjang. Di sisi
lain, dresscode saya lebih into the wild daripada mereka, yaitu kaos,
celana pendek, dan sandal jepit. Antara Into
the wild dan into the hell beda
tipis sih rasanya.
Malam terasa seabad berganti
menjadi pagi. INGIN PULANG. Akibat kedatangan kami di tenda mas-mas ini, kami
sedikit kurang menghabiskan persediaan air yang mereka miliki. Namun, akal
cerdik kami tidak sebanding dengan yang mereka miliki. Air hujan yang tertapung
di atas fly sheet dimasak dan jadilah
teh manis. Hahaha. Yang penting sudah dimasak. Di sela-sela waktu berbincang,
saya melihat ada beberapa binatang kecil putih berjalan di pasir pantai.
Besarnya seperti nasi putih hanya saja mereka memiliki kaki. Hewan apakah itu?
Setelah hujan reda, kami kembali
ke titik dimana tenda kami berdiri beberapa jam lalu. Kami berkumpul dan dengan
cuek tidur di atas pasir pantai lembab
akibat hujan. Ada yang kedinginan karena baju basah kuyup, ada yang dinyamukin,
ada yang gatel-gatel, dan sebagainya. Kami menyambut pagi dengan penuh
keceriaan meskipun agak sedikit kaget dengan muka seorang teman yang merah
seperti ditabok oleh lebah. Ternyata mukanya digigit nyamuk kemudian ia garuk
hingga bisa membengkak seperti itu.
Kami merapikan barang-barang
bawaan. Berfoto-foto sebentar dan berbagi roti sisa bekal. Kami berdoa bersama dan bersiap menapaki
kembali jejak-jejak yang kami tinggalkan kemarin di hutan. Dan tanah hutan pun
lebih becek dan licin dari kemarin. Kalau kemarin kami menghabiskan waktu 4
jam, sekarang kami menghabiskan waktu 7 jam dari Pulau Sempu hingga Teluk
Semut. Medan yang kami lewati terasa lebih berat untuk teman kami yang juga berbadan
berat. Sesekali terpleset, tertawa, mengangis, dan terdiam kembali. Bahkan ada yang
berpikir untuk menelpon tim Sar. Hahaha
Saya ingat sekali saat kami akhirnya
sampai di Teluk Semut. Ada seorang laki-laki yang berkata kepada saya,”Mba, ini rombongan yang tadi pagi berangkat
lebih pagi dari kami kan?”. Saya agak ragu menjawab karena tidak ingat
dengan wajah laki-laki ini. Laki-laki itu pun berkata lagi,”Iya saya jalan setelah kalian sudah berjalan”.
Dalam hati, “oke lo lebih cepat daripada
gue, selesai”. Mungkin laki-laki itu terkejut dengan kedatangan kami yang
jauh lebih lambat daripada dia. Ya memang kali ini rombongan kami kalah banyak
tetapi kami tidak kalah dengan binalnya jalur trekking hutan dan Pulau Sempu
yang cukup menguji fisik dan mental kami. Perjalanan Teluk Semut-Sendang Biru
dilanjutkan selama 10 menit. Berat hati meninggalkan Pulau Sempu tetapi tak apa
lain kali kesana lagi mungkin dengan orang yang berbeda dan tentunya cuaca
lebih baik. Saya dan teman-teman kembali ke Jakarta.
Dan beberapa hari kemudian,
timbul bintik-bintik merah di sekujur kaki saya seperti bentol-bentol yang
dahsyat sekali gatalnya. Balsem panas sampai bedak gatal saya pakai untuk
mengurangi rasa gatal. Saya menyerah dan pergi ke dokter untuk mengobati kaki
yang sudah buruk rupa ini. Dokter pun memberikan salep gatal yang cukup ampuh
mengurangi bintik-bintik merah tersebut. Ternyata beberapa teman juga mengalami
hal yang sama seperti saya. Dan saya pun tersadar bahwa hewan-hewan nasi
berkaki itu adalah penyebab penyakit ini. Hewan ini memang hidup di pantai
tidak hanya di Pulau Sempu tetapi beberapa pantai lainnya. Dan hewan ini
berpotensi menggigit tanpa ada rasa apapun meskipun akhirnya menyebabkan rasa
gatal yang amat sangat. Terimakasih untuk kutu babi yang telah memberikan oleh-oleh
dari Pulau Sempu !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar