"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Rabu, 19 September 2012

Rinjani: Semua Tentang Ambil Air, Hemat Air, dan Buang Air

Ambil air, hemat air, dan buang air merupakan hal tricky selama saya di Rinjani. Lima hari empat malam adalah waktu terlama saya stay di gunung. Air minum harus pintar-pintar dihemat tapi kalau terlalu hemat juga pencernaan bisa sulit. Kalau terlalu banyak minum juga, harus rajin-rajin ambil air. Itu juga kalau ada sumber air di tempat dimana kita mendirikan tenda. Kalau tidak ada dan stock air pribadi sudah habis harus siap-siap tahan haus. Serba salah.

Di Rinjani sendiri, hampir semua air yang berasal dari mata air di beberapa pos bisa saya minum. Yang paling segar itu sumber air di Plawangan Sembalun. Di Segara Anak juga ada sumer air yang letaknya tidak jauh dari camping ground dan hot spring. Usahakan ketika turun Rinjani, manfaatkan air dengan sebaik mungkin. Jika turun jalur Senaru, saya baru bisa ketemu sumber air sebelum pintu hutan senaru. Ada sumber air tapi airnya berwarna namun tidak berasa. Sugesti haus mungkin sudah merasuk pikiran saya jadi tidak peduli lagi yang penting minum. Tipsnya, kalau ada jus-jusan atau nutrisari dicampur saja biar lebih nikmat. Tapi usahakan bertanya-tanya kalau memang mau minum langsung dari mata air takutnya masih mengandung belerang.

Taktik minum hemat itu adalah punya persediaan air minum 600 ml di luar carrier. Sewaktu-waktu haus bisa cepat dikonsumsi. Ketika lelah trekking, coba untuk berhenti dan diam sejenak. Hirup udara segar dan tatap pemandangan sekitar jalur trekking Rinjani.   Kalau memang haus sekali, baru minum. Kalau kita berhenti kemudian langsung minum, pasti air yang diminum akan lebih banyak daripada kalau kita berheti kemudia tarik napas dan diam sejenak. Trik yang teman saya sarankan ini cukup terbukti untuk menghemat persediaan air saat mendaki atau menuruni Rinjani.

Benar kata orang kalau air itu memang sumber kehidupan. Tapi kalau di gunung, tidak semua air itu bisa menjadi sumber kehidupan tergantung bagaimana kita menyiasatinya. Ada air yang memang bisa dikonsumsi dan ada air yang sesungguhnya sangat-sangat tidak disarankan untuk dikonsumsi, misalnya air yang sudah "dibuang". hahaha

Mengapa saya berkata seperti itu karena mungkin ini menjadi pengalaman yang tidak terlupakan untuk saya dan teman-teman selama melakukan aktivitas "buang air" di Rinjani. Tanpa malu-malu dan sudah sewajarnya aktivitas ini dilakukan oleh manusia. Nah, kalau di gunung, hanya tempat pembuangannya saja berbeda tapi prosesnya tetap sama. Bagi yang ingin hiking, harus sudah siap untuk buang air alami tanpa air. Alasannya sederhana, kita buang air tapi kita juga harus tetap hemat air kan di gunung. Katanya harus hemat air kok malah buang air, nah loh. hahaha

Tips buang air pertama, yaitu harus selalu sedia tisu basah yang banyak. Tapi jangan buang-buang tisu juga setelah dipakai untuk membersihkan. Tips kedua, kalau sudah buang air di tanah jangan lupa dikubur lagi. Meskipun memang ada saja orang-orang yang meninggalkan ranjau kasat mata menyebalkan. Yang terpenting adalah tidak boleh merasa jijik. Karena bahaya juga kalau menahan sisa pencernaan selama di gunung. Beda cerita kalau memang belum ingin dikeluarkan, simpan saja baik-baik sampai waktu yang memungkin. Semua itu memang lebih indah pada waktunya, hehe.

Beruntung kalau bisa dapat air banyak seperti misalnya ketika saya berhasrat untuk buang air di dekat Segara Anak, Rinjani. Saya bisa mengisi botol kosong dengan air danau dan pakai sepuasnya. Tapi kalau di pos-pos yang tidak terjangkau air bersih, cuma tisu basah penyelamat manusia-manusia sakit perut.

Beberapa pos di Rinjani juga menyediakan WC umum. Tapi siap-siap masuk ke dalam pintu neraka. Keharumannya double attack. haha. Teman saya yang sempat menikmati keadaan dalam WC  Segara Anak bilang, kalau lubang WC itu sesungguhnya hanya lubang tanah yang jauh ke dalam dan penuh dengan kumpulan-kumpulan kotoran para pendaki beserta porter. Tak terbayangkan setengah mati jika jatuh ke dalam sana. hueek. Waktu itu saya sama sekali tidak tertarik untuk masuk ke WC umum dengan ciri khas kotak besi berwarna hijau tua. Cerita lucu dari salah seorang teman saya yang ternyata dikejar monyet sesaat ingin mengeluarkan sampah perutnya di salah satu wilayah Segara Anak. hahaha. Lain halnya lagi bagi teman saya yang sangat lancar pencernaannya dan keseringan buang air. Ujung-ujungnya jadi sakit dan keras. Memang tidak ada yang tidak butuh perjuangan selama di gunung bahkan untuk "membuang air" sekalipun.

Beda cerita lagi dengan saya. Memasuki hari ke-5, saya baru bisa buang air Tapi rasanya tidak aman sekali ketika sesosok mahluk putih kecoklat-coklatan berekor berkaki empat mendekati saya ketika proses sedang dilaksanakan. Dia mengendus-ngendus dan nampaknya dia setengah mabuk dan gila, kawan...

Dia semakin mendekat dan akhirnya semakin intim dengan saya yang sedang menikmati surga duniawi di balik pohon. ASTAGA.. dasar binatang! Anjing itu mendekati saya, entah dia lapar atau iseng (ngga paham lagi). Mahluk berkaki empat ini tidak mau menjauh dari saya padahal sudah saya usir dengan tokat kayu. Finally, saya buru-buru pergi meninggalkan lapak surga duniawi saya. Baru kali ini, boker digangguin dan lebih parahnya lagi anjing itu me-recycle alias memakan hasil sampah perut saya. Harus marah, tertawa, atau sedih kali ini saya pilih ketiga-tiganya. hahaha.


Dear, Anjing Pintu Hutan Senaru:

"How was the taste? It was a special edition 5 days package from Rinjani for you! Lain kali jangan ganggu saya! hahaha

Tidak ada komentar: