"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Kamis, 19 Juli 2012

#2 Gunung Papandayan: Bertamu Ke Rumah Si Cantik Edelweis


Fenomena alam pertama yang kami jumpai tidak jauh dari Camp David adalah kawah-kawah papandayan. Terdapat kurang lebih 14 kawah di Gn. Papandayan. Di lokasi ini kami hanya melihat beberapa kawah yang bergemuruh. Kawah ini merupakan tujuan wisata layaknya Tangkuban Perahu atau Kawah Putih Ciwidey. Namun, trek menuju kawah ini tidak seperti Kawah Putih karena trek lebih berbatu dan menanjak. Kami semua mulai menggunakan masker agar tidak terhirup asap belerang. Jika merasa kuat dengan asap belerang, telapak tangan mungkin cukup untuk menahan bau belerang. Sedikit sulit bagi saya yang berkacamata ketika hidung dan mulut saya ditutup dengan masker, dan hembusan napas mengenai kacamata. Hal ini menyebabkan kacamata saya berkabut. Untungnya, trek melewati asap belerang tidak begitu panjang. 


Masker disimpan kembali dan kami pun menuruni jalan kawah dan menemukan sungai kecil. Selanjutnya bukit-bukit batu menghiasi alam tempat kami memijakan kaki. Pemandangan bak bukit-bukit di Swiss atau New Zealand ini nampaknya membuat kami berhenti sebentar untuk berfoto (padahal pulang lewat sini lagi). Trek beragam mulai dari kerikil-kerikil kawah, bukit-bukit pasir, dan sesekali jalur datar bahagia. Kurang lebih 3 jam sudah kami menyusuri jalur yang berliku tibalah kami di Pondok Saladah. Areal padang seluas 8 hektar ini hanya ditumbuhi sedikit edelweiss. Tanah datar cukup lapang membuat Pondok Salah direkomendasikan sebagai tempat berkemah di ketinggian 2282 mdpl. Namun, tim kami hanya memilih Pondok Saladah sebagai tempat peristirahatan sementara. Pukul 09.30 WIB, kami mengeluarkan beberapa perbekalan untuk mengisi tenaga. Saya juga sempat bertanya kepada beberapa orang mengenai jalur menuju dead forest, Tegal Alun, dan Puncak. Namun, saya mendapatkan beberapa versi.
Hutan Mati

Jam menunjukkan pukul 10.30 WIB dan pendakian dilanjutkan menuju dead forest atau hutan mati. Menurut sketsa peta abstrak yang kami dapatkan dari penjaga pos Camp David, gunung putih yang dimaksud adalah dead forest. Memang dari Pondok Saladah, dead forest terlihat seperti gunung yang berwarna putih. Berkat bantuan seorang lelaki SMA asal Garut, kami sampai di hutan mati. Saya juga sempat bertemu dengan kawanan anak muda asal Bandung yang mengaku tinggal satu gang. Mereka baru saja turun dari Tegal Alun tanpa membawa cariel karena perlengkapan mereka tinggalkan di tenda Pondok Saladah. Mereka juga berkata bahwa tidak akan ada yang berkemah di Tegal Alun. Informasi ini tidak menyurutkan niat kami untuk mendirikan tenda di Tegal Alun. Mengenai alam hutan mati, hutan ini terbentuk akibat letusan Gunung Papandayan tahun 2002. Hutan sekitar menjadi kering dan dipenuhi dengan abu vulkanik. Hutan mati menjadi fenomena alam yang mengagumkan jika diabadikan dengan lensa kamera. Abu vulkanik dan pohon-pohon keringnya sesekali terlihat serupa dengan pohon kering dan salju saat musim dingin.

Lima Kawan Baru dari Bandung (Hutan Mati)
Tujuan kami sesungguhnya adalah Tegal Alun. Padang Edelweis yang berada di ketinggian 2.600 mdpl. Kami disambut dengan meriah oleh hamparan edelweis seluas 32 ha. Sungguh luar biasa bagi saya yang baru kali kedua melihat bunga-bunga abadi yang tumbuh liar di padang seluas ini. Bahagia tentunya bisa menginjakan kaki di Tegal Alun. Kami tiba sendiri. Berkemah sendiri. Hingga turun dari Tegal Alun sendiri. Kami seperti tamu VVVIP di Kerajaan Edelweis Tegal Alun.


Sebelum tiba di Tegal Alun, saya sempat mendapatkan informasi kalau di dekat Tegal Alun terdapat sumber air. Akhirnya beberapa dari kami harus mencari sumber air tersebut untuk menambah persediaan air minum dan masak. Sebagian dari kami mulai mendirikan tenda, mencari kayu bakar untuk api unggun, dan memasak makan siang di sore hari, haha. Beberapa jam kemudian, teman-teman pun kembali dengan membawa botol-botol berisi air segar dari mata air yang mereka temukan, Dan saat itu juga makanan besar kami sudah siap untuk disantap.

Kira-kira pukul 18.30 WIB kami selesai makan dan mulai menyalakan api unggun. Entah mengapa waktu terasa begitu lambat. Mungkin Tegal Alun masih merindukan kami bersamanya (gombal pisan). Saya suka sekali kehadiran api unggun, celotehan malam ngalur ngidul, dan segelas white coffee yang disuguhkan malam itu. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman dari berbagai ilmu pasti sampai yang tidak pasti sekalipun, hahaha. 

Malam masih panjang sekali. “Spertinya tungku mulai padam...” seru salah satu teman saya yang nampaknya mulai mengambil langkah untuk masuk ke dalam tenda. Mari kita habiskan malam dengan bermain kartu. Bosan bermain kartu, beberapa dari kami memasak minuman-minuman hangat sambil mulai menengok ke atas langit. Ya, surga bintang betul-betul malam itu. Kali ini saya melihat bintang layaknya pasir di langit. Malam itu, di atas langit Tegal Alun, kami menyaksikan panorama galaksi bimasakti atau Milky Way. Sumber google mengatakan bahwa ada sekitar 200-400 milyar bintang dengan ketebalan 1000 tahun cahaya dan  diameter 100.000 tahun cahaya di galaksi bimasakti ini. Bahagia bukan main. Siang hari melihat hamparan edelweiss, malam hari melihat hamparan bintang. Tegal Alun atas bawah oke berat!


Pondok Saladah




Akhirnya Sampai Di Tegal Alun
Sunrise Dari Tegal Alun
Si Cantik Edelweis, Tegal Alun
Tegal Alun Pagi Hari

Foto oleh Novita Eka Syahputri

Tidak ada komentar: