"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Senin, 26 Desember 2011

#010 Orang Bajo : Kehidupan Bermasyarakat



sumber : internet
Orang-orang Bajo suka sekali berkunjung dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya. Dengan adanya kunjungan itu mereka bias memperkuat hubungan tali silaturahmi mereka. Orang-orang Bajo memasukkan orang lain ke dalam pandangan hidupnya tentang kehidupan. Menurut mereka, mengasingkan diri dari kelompok adalah suatu hal yang tidak wajar. Kunjungan dan percakapan adalah hal yang sangat penting bagi orang Bajo. Orang-orang Bajo juga dikenal dengan orang-orang yang tidak suka memaksa. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang sangat hormat kepada orang yang lebih tua. Dalam kehidupan bermasyarakat, Orang-orang Bajo tidak biasa menyembunyikan pikiran dan perasaan mereka. Bila ada orang yang menyimpan rahasia, maka bias dipastikan orang itu tidak menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Kebiasaan hidup orang-orang Bajo adalah hidup terbuka. Ketika berbicara, orang-orang Bajo tidak suka bertele-tele dan langsung kepada poin pembicaraan.

Mayarakat Bajo menitikberatkan keturunan dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Menurut mereka, anak cucu adalah visi masa depan mereka. Mereka beranggapan dengan adanya seorang anak (terutama anak sulung) bias mengangkat derajat kehidupan mereka. Dalam kehidupan orang Bajo, tidak baik bila pasangan suami istri tidak mempunyai anak. Bila pasangan ini tidak mempunyai anak, lingkungan disekitar mereka akan bingung memanggil nama mereka. Suami dan istri di masyarakat Bajo juga tidak memanggil suami atau istrinya dengan nama kecilnya. Biasanya suami istri ini akan dipanggil sebagai Paman Piana dan Bibi Piana. Seorang istri yang menyebut nama suaminya dianggap katula. Didalam kehidupan sehari-hari, perasaaan hormat kepada yng lebih tua sudah ditanamkan sejak dini. Orang tua mengajarkan istilah-istilah panggilan sesuai dengan kelompok-kelompok saudara. Bares  (kelompok paman-paman yang lebih tua daripada orangtuanya), Bares Pua (paman-paman, bibi-bibi, saudara-saudara, sepupu), Danakang (saudara laki-laki dan perempuannya), Ndi (adik-adiknya), Ka (kakak-kakaknya), Puto (sepupu perempuannya dan sepupu laki-lakinya dari Ayah).

#09 Orang Bajo : Ikiko (Sejarah Orang Bajo)

Orang bajo yang melakukan ritual atau upacara sebelum berlayar. Tujuannya bukanlah untuk mendapatkan ikan yang melimpah akan tetapi untuk keselamatan dari para nelayan Bajo tersebut. dalam masyarakat Bajo tidak ada ajaran atau kewajiban-kewajiban yang sifatnya resmi. Tidak ada tanggal untuk upacara tertetu. Ha-hal tersebut hanya dilaksanakan apabila dibutuhkan saja. Masyarakat Bajo juga mengenal hirarki dalam hubungan keluarga. Seperti keluarga jauh (Bares Teo), keluarga dekat (Bares Tutuku) serta keluarga yang tinggal dalam satu atap yang disebut dengan Dapparanakan. 

Keluarga inti dalam masyarakat Bajo memiliki dua fungsi. Pertama, keluarga inti termasuk keluarga yang diperluas dan desa. Kedua, keluarga inti memainkan peranan prokreasi yang menjamin keturunan, pendidikan (meskipun lemah), pengasuhan anak-anak, mekipun anggota keluarga lain juga melakukannya. Dalam penelitian ini tidak hanya Zacot yang melakukan penelitian, Kat istrinya juga melakukan penelitian yang lebih spesifik kepada perempuan Bajo yang dalam buku ini saying sekali tidak dipaparkan secara rinci. Pada bab ini dilampirkan beberapa foto yang diambil Zacot dalam penelitiannya. Foto-foto tersebut memperihatkan kehidupan masyarakat Bajo sehari-hari. Dongen pada masyarakat Bajo juga memiliki peranan yang besar. Melalui dongeng, masyarakat Bajo dipersiapkan menjadi individu yang memiliki tanggung jawab yang besar sebagai orang tua dan menggungah kepekaan anak-anak Bajo pada realitas masa depan Bajo. Orang Bajo juga memiliki istilah untuk menyebut oang diluar Bajo yaitu Bagai dan untuk sesama Bajo disebut dengan Sama

#08 Orang Bajo : Kehidupan Bermasyarakat

Zacot dan Kat istrinya hidup selayaknya orang Bajo yang bisa dikatakan penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian dalam memeroleh makanan dan air minum (air tawar: boe). Karena hal-hal pokok tersebut hanya bisa didapatkan di darat. Untuk itu, untuk mendapatkan air tawar, orang Bajo harus mengambilnya didarat atau membeli dari orang Bajo lainnya yang memiliki penampung air yang besar. Bahan makanan mereka dapatkan dari laut yaitu ikan, atau dari orang-orang darat yang berjualan dengan perahu. 
Orang Bajo suka sekali meminta sesuatu dari orang lain meskipun barang yang diminta tersebut tidak berharga, tidak berguna atau bahkan tidak dibutuhkan oleh orang yang meminta tersebut. Contohnya, mereka meminta obat-obatan yang dimiliki oleh Zacot dan Kat. Obat-obatan tersebut pada kenyataannya tidak dikonsumsi oleh orang Bajo karena mereka masih sangat percaya kepada dukun. Kebiasaan unik tersebut sebenarnya hanyalah salah satu sifat orang Bajo dalam berkomunikasi atau berbasa-basi agar dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya. 
Hal lain yang dicermati oleh Zacot adalah kegiatan perekonomian orang Bajo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zacot, orang Bajo melakukan kegiatan perekonomian terkesan hanya suatu formalitas saja. Karena pada kenyataannya mereka dapat mendapatkan segala sesuatu sendiri dan dengan cara yang sederhana. Orang Bajo menganggap uang sedikit menyulitkan karena pada mulanya mereka menggnakan sistem barter. Itulah kenapa orang Bajo memilih untuk hidup dengan sederhana dan tidak tunduk dengan uang dan kekayaan. 
Orang Bajo memiliki pandangan tersendiri terhadap anak perempuan yangmasih remaja. Mereka menganggap bahwa mereka ada dalam ‘usia tak tahu diuntung”. Hal ini dikarekan anak perempan Bajo banyak menghabiskan waktu dengan hanya bermalas-malasan. Kedekatan antara masyarakat Bajo sering disebut-sebut dalam buku ini untuk menggambarkan bahwa masyarakat Bajo memiliki hubungan yang kuat satu sama lain. Terlihat dari bagaimana mereka saling mengawasi dan mengingatkan satu sama lain. Penelitian Zacot juga menghasilkan informasi yang menyatakan bahwa orang Bajo sebenarnya sudah mengenal agama, akan tetapi mereka tetap saja memegang kepercayaan animisme. Hal tersebut terlihat dari eratnya pengetahuan mereka dengan setan dan dukun. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan. Islam berusaha untuk diakui secara resmi akan tetapi animisme juga sulit untuk dilepaskan. 

#07 Orang Bajo : Rumah dan Perahu Kehidupan di atas Air

Rumah yang hanya memiliki dapur dan ruang utama yang masing-masing berukuran 6 meter tersebut berisi sebuah tempat tidur, sebuah meja dan tiga buah kursi. Deskripsi diatas menunjukan bahwa orang Bajo Torosiaje sudah puas dengan kehidupan yang sederhana. Menurut mereka yang terpenting adalah perlengkapan yang berhubugan dengan kegiatan mereka dengan laut (menangkap ikan). Hal tersebut memperlihatkan eratnya hubungan antara orang Bajo dengan laut. Oleh karena hal tersebut orang Bajo sangat mencintai perahunya. Bahkan ada orang Bajo yang tinggal dalam rumah perahu (Leppa). Di dalam rumah perahu tersebut biasanyya diisi oleh 5-7 anggota keluarga. 
Zacot berusaha untuk mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan keluarga dalam leppa, akan tetapi ada beberapa hambatan. Yang pertama, dikarenakan informan merupakan orang Bajo yang sudah tua, maka mereka menggunakan bahasa Bajo yang susah untuk dimengerti. Yang kedua adalah orang Bajo yang tinggal di dalam leppa tersebut tidak nyaman bertemu dengan orang asing. Untuk itulah Zacot tidak dengan mudah mendapatkan informasi yang diinginkan. Dalam bab ini dijelaskan pula bahwa menurut sejarah, masyarakat Bajo terbagi menjadi dua yaitu bangsawan dan budak. 
Disimpulkan bahwa urutan status sosial tersebut meniru kebudayaan Bugis atau bahkan, lebih baru lagi, kebudayaan Gorontalo. Ada hal menarik yang diceritakan dalam bab ini yaitu orang Bajo sangat menyukai musik keroncong. Ada empat atau lima buah radio kaset yang akan diperdengarkan bersama-sama oleh seluruh warga. Kehidupan orang Bajo yang sederhana juga berpengaruh dengan kepribadian masing-masing individunya. Mereka adalah pribadi yang rendah hati dan memiliki kebiasaan menjelek-jelekan kesalahan mereka dan orang lainlah yang akan memberikan pujian sebagai timbal baliknya.

#06 Orang Bajo : Pernikahan Adat Muda-mudi Suku Bajo Torosiaje sebagai Jalan Tengah Pertentangan dari Orang Tua (2))



Hal menarik lainnya terkait dengan hubungan pemuda-pemudi masyarakat suku Bajo adalah apabila seorang gadis hamil di luar nikah, maka lelaki yang menghamilinya diharuskan membayar denda sebesar sepuluh ribu rupiah diikuti dengan berlakunya hukum adat dan instansi agama yang mengharuskan mereka untuk menikah. Sementara itu, apabila seorang pemuda dan seorang gadis ditemukan sedang mengobrol di malam hari, mereka diharuskan untuk menikah. Ketatnya peraturan masyarakat suku Bajo dalam hal pergaulan pemuda-pemudi merupakan wujud betapa sakralnya nilai sebuah kehormatan keluarga dan adat suku Bajo tersebut. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan kehidupan Zacot dan kehidupan masyarakat Indonesia modern saat ini, yaitu ketika pernikahan tidak lagi dipandang sebagi suatu hal yang sakral. Pemberian sanksi merupakan bentuk kekukatan hukum adat yang sudah lama diberlakukan oleh masyarakat suku Bajo. Pada kasus lain, apabila salah satu masyarakat suku Bajo menikah di luar dengan seseorang yang berasal dari suku lain, maka suku Bajo harus mengikuti adat pasangannya yang berasal dari suku lain tersebut. Demikian sebaliknya, jika suku lain datang dan menikahi salah seorang suku Bajo di tempat bermukimnya masyarakat Bajo, maka orang tersebut harus mengikuti adat Bajo. Seseorang yang bukan berasal dari Bajo wajib membayar dua kali jumlah 1.500 rupiah (pananga) dengan alasan bahwa orang yang berasal dari suku lain tersebut tidak akan menetap di desa masyarakat suku Bajo, ia hanya numpang lewat saja.

 Berdasarkan pengalaman yang dituliskan oleh Zacot tentang masyarakat suku Bajo, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat suku Bajo adalah masyarakat tradisional yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka. Merek sama sekali tidak bergejolak terhadap arus modernisitas yang melingkupi kehidupan mereka. Kesederhanaan dan kecintaan mereka terhadap lautan telah menjadikan masyarakat Bajo identik dengan pengembara laut ulung. Masyarakat Bajo juga mengajarkan kita untuk menjadi seorang yang bijak melalui penyelesaian masalah yang senantiasa dilakukan dengan jalan kekeluargaan, yaitu dengan bermusyawarah. Hal ini tergambar jelas dalam upacar ningkolo. Meskipun dalam penulisannya, Zacot sempat menarik kesimpulan yang salah mengenai adat ningkolo, namun Zacot kemudian berhasil secara implisit mengklarifikasi bahwa masyarakat suku Bajo adalah masyarakat yang sangat mementingkan sebuah komunikasi antar-pihak dalam menyelesaikan masalah.

#05 Orang Bajo : Pernikahan Adat Muda-mudi Suku Bajo Torosiaje sebagai Jalan Tengah Pertentangan dari Orang Tua (1)

Hal yang menarik dalam kisah perjalanan Zacot di desa Torosiaje adalah pelaksanaan upacara adat perkawinan antara muda-mudi yang tidak direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita. Apabila merujuk pada kehidupan masyarakat kota modern, pernikahan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak keluarga calon pemelai biasanya dibatalkan sehingga menyebabkan kekecewaan bagi salah satu pihak. Namun, hal ini tentu saja sangat berbeda dengan suku Bajo yang sangat menjunjung tinggi nilai sebuah permusyawarahan untuk mencapai sebuah kemufakatan dalam menyelesaikan setiap masalah melalui tata upacara adat yang dipimpin oleh kepala adat yang dituakan. Beberapa upacara adat untuk menyelesaikan masalah tersebut diantaranya adalah ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk memohon izin kepada keluarga calon pemelai yang tidak menyetujui pernikahan atau sillayang (penculikan). Namun, masyarakat suku Bajo lebih memilih upacara ningkolo (duduk) dalam menyelesaikan masalah karena upacara ini lebih bersifat kekeluargaan.

Tata cara pelaksanaan upacara ningkolo menekankan pentingnya sebuah diskusi antara dua keluarga yang akan bersatu. Mungkin dalam masyarakat kita, upacara ini sama halnya dengan lamaran. Pada upacara ini, kepala adat menjadi penengah di anatara dua keluarga, dan dalam pertemuan itu, pihak calon pemelai laki-laki menawarkan jumlah uang sebagai mas kawin kepada pihak calon pemelai perempuan untuk disetujui. Mas kawin yang ditawarkan adalah uang berjumlah 50.000 rupiah yang terdiri atas dua bagian, yaitu 1500 rupiah (pananga) yang telah diperhitungkan oleh adat, ditambah uang untuk biaya pesta perkawinan. Tawar-menawar akan terus berlangsung melalui kepala adat sebagai penghubung sehingga mencapai sebuah kesepakatan jumlah mas kawin di antara kedua belah pihak.

Apabila diamati secara kasat mata, upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Bajo ini menunjukkan sikap matrealistis yang begitu kental. Namun sebenarnya, uang dalam arti upacara tersebut hanya memainkan peran artifisial karena yang terpenting dalam upacara tersebut adalah dipertemukannya kedua keluarga dan keharusan untuk mengenal satu sama lain. Hal ini senada dengan apa yang dituliskan oleh Zacot dalam bukunya bahwa, “…yang lebih penting lagi adalah keharusan untuk berbicara, kehormatan dan juga besarnya perhatian yang dinyatakan orang atas pesta” (Zacot, 2002:93).  Berbicara tentang kehormatan, pada masyarakat suku Bajo, hubungan pergaulan pemuda-pemudi menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi antara pemuda-pemudi suku Bajo, maka sanksi akan diberlakukan tidak hanya oleh kepala adat, tetapi juga oleh agama dan pejabat pemerintah lainnya.

Kamis, 22 Desember 2011

#04 Orang Bajo : Perkenalan Masyarakat Pulau Nain

Pulau Nain yang konon katanya telah berdiri sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu ini terbagi menjadi dua bagian dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang hampir sama. Bagian pertama ditinggali oleh suku Siau (berasal dari nama pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Manado dan merupakan bagian dari pulau Sanghir) yang beragam Kristen, dan bagian lainnya dihuni oleh suku Bajo yang beragama Islam. Masyarakat suku Bajo sangat identik dengan kedekatannya dengan lautan sehingga tempat tinggal suku Bajo dibangun di atas air atau selalu dekat dengan laut. Mereka menolak untuk tinggal di daratan dan mengikuti pola hidup orang daratan karena bagi masyarakat ini, lautan memiliki peran vital dalam kehidupan mereka. 

Salah satu bentuk keterikatannya dengan lautan ditunjukkan melalui kebiasaan masyarakat suku Bajo yang lebih senang mengkonsumsi ikan dibandingkan daging, dan hanya sedikit mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Keunikan dari masyarakat Bajo di pulau Nain adalah tidak adanya konsep kekeluargaan dalam pinjam meminjam barang. Dengan kata lain, jika salah seorang anggota keluarga meminjam perahu atau jala dari salah satu anggota keluarag atau orang lain untuk menangkap ikan di laut, maka, mereka tidak bisa mendapatkan pinjaman tersebut secara cuma-cuma, melainkan harus membayarnya. 

Tidak hanya itu, masyarakat suku Bajo juga memiliki kepercayaan bahwa setiap hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh dari berlayar harus diserahkan sebagiannya kembali ke lautan. Hal ini senada dengan sebuah ungkapan yang hidup dalam masyarakat suku Bajo, yaitu sesudah para nelayan kembali dari menangkap ikan, sebagian hasilnya harus “dikembalikan kepada jala”. Demikianlah perkenalan singkat Zacot dengan suku Bajo di pulau Nain. Namun, beberapa minggu berusaha menjalin hubungan masyarakat suku Bajo di pulau Nain, Zacot merasakan ada banyak misteri yang sulit untuk diungkapkan olehnya dalam mengidentifikasi suku tersebut. Hal inilah yang kemudian memunculkan berbagai macam pertanyaan di benak Zacot sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menemukan jawabannya pada masyarakat suku Bajo di desa Torosiaje.

#03 Orang Bajo: Tak Ada Jarak di antara Kita

“Tak ada jarak di anatara kita”. Ungkapan ini mungkin cocok untuk menggambarkan seberapa terbukanya tiap individu-individu orang Bajo. Mereka adalah masyarakat dengan keterbukaan dan solidaritas tinggi antar sesama penduduk. Hal ini dapat dilihat dalam cara mereka berkomunikasi dan bersikap di kehidupan sehari-hari.

sumber : internet

Orang Bajo terbiasa untuk berkomunikasi tanpa melihat langsung lawan bicaranya. Mereka dapat berada di jarak yang tidak saling berdekatan. Misalnya, seseorang dapat berada di bawah rumahnya jika ia berperahu, atau rumahnya di sebelah lain “jalan”, atau bahkan lebih jauh lagi, di sebelah lain desa (lereng yang berlawanan). Zacot menceritakan bahwa seorang Bajo mengajak ia berbicara dengan jarak 20 meter dari hadapannya. Lalu bagaimana mereka dapat berkomunikasi? Mudah saja, orang Bajo memang sudah dilatih sejak kecil untuk berkomunikasi dengan suara keras dan lantang. Budaya mengeluarkan suara keras dan teriakan sama pentingnya dengan pelajaran berjalan, mendayung dan menangkap ikan bagi anak-anak Bajo. Mungkin lingkungan mereka akan terlihat seperti pasar, bukan hanya karena lalu-lalang aktivitas penduduk tetapi juga teriakan-teriakan perbincangan jarak jauh yang semakin meramaikan suasana. Bagaimana ya jika suatu hari mereka semuanya harus dipindahkan ke daratan dengan pemukiman yang berdekat-dekatan. Nampaknya cukup seru untuk melihat mereka berbincang dengan suara keras walau jarak terasa begitu dekat.
Kebiasaan berkomunikasi lainnya adalah kebiasaan orang Bajo mengomentari setiap pembicaraan. Tidak ada pembicaraan yang tidak dikomentari dan dibahas antar orang Bajo. Tidak ada yang tertutup antar satu individu dengan individu lainnya. Setiap hal harus dikomentari di depan umum bahkan dengan suara keras. Orang Bajo juga suka menyelidiki urusan orang lain, mencari tahu, bertanya-tanya tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan orang lain. Ini merupakan hak setiap orang. Masing-masing mereka bahkan tidak mengggu seseorang untuk bertanya tentang dirinya, melainkan menceritakan langsung tentang keadaan mereka ke orang lain. Bias dibayangkan bagaimana terbukanya tiap individu orang Bajo akan kehidupan pribadi dan keluarga mereka. Apakah mungkin tidak akan pernah ada istialh ‘aib’ di antara orang-orang Bajo ini?
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang Bajo melakukan barter sesuai kebutuhan yang diperlukan. Proses barter biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan seorang anak perempuan ke rumah tetanggga (lawan barter) untuk meminta ikan, air atau jeruk, dll. Pada kesempatan itu orang yang ditujunya berhak untuk meminta rempah-rempah atau sesuatu yang kebetulan sedang dibutuhkan dan tak dipunyainya saat itu. Apabila ia tidak memiliki barang yang diminta, ia akan berjanji untuk memberikan barang tersebut di kesempatan lain. Dengan begitu pengunjung tidak akan mengurangi persediaan tuan rumah.


Jumat, 16 Desember 2011

#02 Orang Bajo : Hidup dan Mati di Tangan Tuhan atau Setan? (2)

sumber ; internet
Umumnya, orang Bajo memberikan sajen kepada Setan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit. Jenis sajen yang diberikan harus berdasarkan jenis penyakit yang diderita. Jenis penyakit tersebut dapat dideteksi dengan kepercayaaan mereka akan perantara atau wakil-wakil Setan yang hidup di laut, yaitu ikan gurita, kuta, dan buaya. Mereka adalah perantara Setan yang memberikan penyakit kepada orang Bajo. Maka dari itu, dukun akan memeriksa binatang mana yang nantinya harus bertanggung jawab atas penyakit yang diderita. Biasanya semua penyakit ditandai dengan demam.

Kalau kepala dan tangan (ujung-ujung anggota badan) si sakit panas, maka ikan guritalah yang bertanggung jawab, karena “ikan gurita hidup di air, di tengah karang-karang.” Kalau dukun melihat bahwa hanya bagian perut ke atas yang panas sedangakan tangan dan kaki dingin, maka penyebabnya adalah buaya, karena “ketika buaya merayap ke darat, hanya sebagian tubuhnya yang terbenam di dalam air sedangkan kepalanya terkena sinar matahari” (hlm.258). Selanjutnya, dukun akan membuat rumah-rumahan berukuran 30 cm dan mengisi rumah tersebut dengan sajen yang sepantasnya diberikan kepada binatang yang bertanggung jawab atas penyakit (prosesi sajen ikan gurita untuk menyembuhkan Ua Kosa, hlm. 260-264). Adapun sajen yang diberikan adalah raki untuk ikan gurita, tuli untuk buaya, dan anca untuk taraf terakhir jika demam masih terus berlangsung.


“Setan bukan apa-apa. Jadi sajen kami persembahkan kepada jin yang baik, yaitu jin Islam yang merasuk ke dalam tubuh dukun dan yang menyembuhkan kami”. Ini merupakan alasan dari orang Bajo mengenai kepercayaan mereka akan Setan dan pamali-pamali. Mereka menunjukkan bahwa orang dapat sekaligus tidak mempercayai Setan tapi menerima pamali-pamali tersebut. Orang Bajo memiliki kemampuan bersifat ganda. Sifat ganda tersebut diperlihatkan dengan tindakan kepala adat untuk mencabut bendera putih yang biasanya ditancapkan di depan desa untuk mengusir Setan. Kepala adat sesungguhnya tidak percaya kemanjuran sajen dan adanya Setan yang dapat mencabut jiwa seseorang. Namun, ia mengakui bahwa Setanlah yang membuat orang sakit dan mengobatinya, jadi ia harus diberi makan. Dengan, fakta-fakta di atas, Zacot menyimpulkan bahwa orang Bajo terkadang menyembunyikan prinsip-prinsip kebudayaan yang mereka yakini dengan berkedok alasan yang lebih logis sebagai sebab terjadinya penyakit atau kematian seseorang.

Kamis, 15 Desember 2011

#01 Orang Bajo : Hidup dan Mati di Tangan Tuhan atau Setan? (1)

 Sebelum membaca buku ini, saya tidak pernah mengetahui bahwa orang Bajo mempunyai sebuah hubungan yang serius dengan Setan. Kedekatan mereka dengan Setan nampaknya tidak begitu diketahui oleh orang Indonesia pada umumnya….

“Setan!” ucap seorang perempuan yang nampaknya pucat dan ketakutan ketika melihat seekor penyu yang mati di belakang rumah Zacot. Ia tidak memperbolehkan Zacot mendekati penyu (boko) tersebut. Ia menjelaskan bahwa binatang apapun yang telah mati, mereka telah menjadi milik Setan. Hubungan kematian dengan Setan tidak hanya diberikan pada binatang tetapi juga kematian manusia. Suatu hari, di desa Torosiaje terjadi sebuah tragedy yang menakutkan semua penduduk. Adalah kematian seorang nelayan laki-laki sepulangnya dari melaut. Orang-orang memamnggil dokter untuk mendiagnosis mayatnya. Berbagai prediksi seperti tekanan darah dan angin yang kuat sebagai penyebab kematian, bermunculan dalam perbincangan penduduk. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini menarik untuk ditelusuri.

Kenyataannya, orang Bajo tidak perlu mendapatkan penjelasan dari dokter atau pengobatan ketika seseorang sakit atau mati. Mereka sudah dapat mengetahui penyebabnya. Penyebab itu adalah akibat melanggar pamali atau larangan. Ketika mereka melanggar pamali, Setan akan menghukum mereka. Adapun beberapa Pamali atau larangan bagi orang Bajo, sebagai berikut :

- Tidak menyebut nama penyakit ketika tidak ada orang yang sedang mengalami penyakit tersebut, sebab dengan menyebutkan nama penyakit itu saja sudah cukup mendatangkan penyakit itu.
- Pada saat raki, tidak diperbolehkan memotong buah kelapa, menaiki rumah orang sakit dengan kaki basah atau membawa air laut ke dalamnya. Keluarga si sakit tidak boleh mencoba-coba untuk meinta air atau korek api atau bara api dari yang lain, dsb.
- Tidak boleh melaut ketika orang tersebut hendak menikah apalagi menangkap ikan dengan serampang.
- Tidak menyebutkan binata (binatang) ketika sedang melaut. Kata binatang yang dimaksud diganti dengan kata alolo. Misalnya, “kemarin kami melihat seekor kerbau yang…” menjadi “kemarin kami melihat seekor alolo yang…”. Jika dilanggar akan binatang yang disebut namanya akan mendatangkan badai bagi pelaut.

#00 Orang Bajo

Saya bermimpi untuk bertemu dan bermain dengan Orang Bajo suatu hari nanti…..


Orang Bajo
sumber : internet

Semua cerita tentang orang Bajo di dalam tulisan-tulisan yang saya dan teman-teman akan tulis merupakan cerita yg dikisahkan oleh seorang antropologi Perancis, Francois-Robert Zacot. Ia menceritakan semua pengalamannya bersama orang Bajo.  “Saat itu orang Indonesia tak mengenal suku ini padahal merupakan bagian dari warisan budaya Indonesia. Orang Bajo yang dukunya suku pengembara laut ingin menyendiri, sengaja menghindar, tak terkungkung. Mereka muncul dan menghilang di berbagai pesisir dengan cara mereka sendiri, yang memperkuat rasa janggal yang ditimbulkan oleh cara hidup mereka di laut”.


Kadang tertawa dan juga sedih dirasakan ketika melihat cara orang Bajo hidup dan bersikap. Saya percaya masih banyak teman-teman juga yang bertanya orang Bajo itu memang tinggal di bagian mana pulau-pulau di Indonesia. Tempat tinggal orang Bajo memang tersebar. Nenek moyang mereka tidak hanya mengarungi lautan Indonesia tetapi juga lautan di seluruh penjuru dunia. Orang Bajo yang menganggap dirinya sebagai ‘orang laut’ mengatakan bahwa laut tidak memiliki batas, siapapun dapat tinggal dan hidup di laut. Itu jaman dahulu…. Kalau sekarang kita masih bisa mengatakan pernyataan yang sama dengan orang laut, saya dan teman-teman juga pasti sangat bahagia sekali karena kita bisa melewati laut dan samudera di dunia tanpa izin dan menikmati pulau-pulau tak berpenghuni. Selamat membaca!

Kamis, 08 Desember 2011

Only Dream

"Tidak ada yang baru di bawah matahari". Bahkan,"Serupa tapi tak Sama". Kembali ke satu titik yang sama. Membosankan. Seperti kalimat-kalimat sebelum kalimat ini.

Banyak kata-kata hebat, gambar-gambar indah, bahkan pemenang yang akan menjadi pemenang selamanya. Tidak ada ukuran yang melebihi seorang dia.

Perbandingan muncul seperti biasa. Kemudian, Iri pun hadir. Seketika Amarah dan Benci datang bersamaan tanpa harus diundang. Membiarkan Niat terkunci dalam kamar gelap. Niat ingin berteriak keluar bersama Tindakan.

"Tidak bisa. Lihat, itu lebih hebat. Itu lebih indah!"

Pengakuan lama tak kunjung datang untuk menyelamatkan. Dan Niat pun tertidur semakin lelap dalam Mimpi semata.

Only Human

Diatas semuanya itu. Mahluk ini sama saja seperti mahluk lainnya. Merasakan apa yang disebut cinta dan kasih sayang. Mengungkapkan kebahagian yang lebih dari aliran kata-kata manis dalam botol kaca. Yang bisa pecah, tumpah ruah, tak terbendung. Atau bahkan kesedihan pun menghambat. Kegagalan menutup kebahagian. Hanya setitik saja. Lalu ia berubah. Keinginan mengalir dalam mimpi dan cita-cita. Terus mengalir. Dan melebihi realita yang seolah berkuasa atas kita, Manusia.

Selasa, 29 November 2011

 Aku Ingin

Komposisi : AGS Arya Dipayana
Gitar : Umar Muslim
Violin : Henri Lamiri
Vokal : Reda
 
oleh Sapardi Djoko Damono,

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Rabu, 19 Oktober 2011

Mencuri Informasi di Kantor Redaksi NGI !

 Jumat, 30 September 2011, saya bersama teman-teman Suara Mahasiswa UI berkunjung ke kantor Redaksi National Geographic Indonesia. Dalam rangka acara Klinik Jurnalistik, kami mengadakan kunjungan ini untuk berbagi pengalaman dan melihat cara redaksi NG bekerja dalam membuat sebuah liputan. Di sana kami dikumpulkan dalam ruang rapat redaksi yang tidak terlalu besar untuk menampung peserta juga panitia yang terlampau banyak. Beberapa panitia pun bersedia untuk menunggu di luar ruangan sampai sesi bincang-bincang dengan redaksi pun selesai.

Mas Firman Firdaus, yang akrab disapa Mas Daus mulai mempresentasikan latar belakang NG hadir di Indonesia dan produk-produk NG yang diterbitkan untuk masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat menganggap bahwa NGI ini berkaitan atau bersumber dari National Geographic Channel. Padahal sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk majalah NG yang beredar di Indonesia. Redaksi NGI memiliki beberapa produk yaitu Majalah National Geographic Indonesia, Majalah National Geographic Traveller, website nationalgeographic.co.id, dan fotokita.net.

Untuk majalah NGI sendiri dikerjakan hanya 20% redaksi NGI, sedangkan 80% hasil terjemahan dari NG luar negeri. Hal ini terjadi karena tim redaksi NGI belum dapat sepenuhnya melakukan riset untuk semua liputan dalam majalah NG dengan alasan waktu dan tenaga. Untuk majalah NG Traveller, bisa dikatakan sepenuhnya dikerjakan oleh redaksi NG Traveller Indonesia.

Setelah berbincang-bincang dalam ruang rapat redaksi, Mas Purwo (Alumni Suara Mahasiswa UI) memimpin kita untuk berkunjung ke ruang kerja redaksi NG. Disini peserta dan panitia bisa berinteraksi langsung dengan para redaksi dan mewawancarai seputar kerja redaksi. Kebetulan saya tidak banyak berputar-putar di ruangan ini karena jumlah peserta dan panitia ternyata tidak berbanding lurus dengan luas ruang redaksi NG. Seketika ruangan menjadi penuh dan agak susah untuk berkeliling ke se semua meja kerja redaksi. Saya memilih untuk stay di satu meja kerja redaksi yang dimiliki oleh seorang wanita dengan jabatan Text Editor, yaitu Christantiowati.

Yang membuat saya tercengang dalam hati ketika awal berkenalan dengan Mba Chris adalah beliau lulusan Ilmu Perpustakaan FIB UI. Lagi-lagi saya menyadari bahwa apa yang kita pelajari di kampus belum tentu akan sepenuhnya dapat disalurkan dalam pekerjaan. Mungkin passion Mba Chris memang menulis dan bukan berarti hanya mahasiswa sastra saja yang pandai menulis. Ia bercerita singkat mengenai pengalamannya dalam menulis. Awalnya Ia hanya mempublish iseng-iseng tulisannya di rubrik surat pembaca atau kolom untuk pembaca di majalah. Kemudian ia mulai menjadi penulis tetap di Intisari, Kompas, dan kemudian  Majalah NG.

Tak lupa saya juga bertanya-tanya dengan hobi  Mba Chris yaitu diving. Dia bercerita bahwa hobi diving-nya dimulai karena tuntutan pekerjaan. Waktu itu ada salah satu atasannya yang membutuhkan penulis yang juga bisa diving. Saat itu, umur Mba Chris sudah menginjak angka 30 tahun, dan disitulah ia baru mulai belajar diving. Ternyata, Mba Chris pun tidak begitu pandai dalam berenang. Les renang dan diving diambil oleh Mba Chris demi memenuhi persyaratan pengambilan lisensi diving. Akhirnya, selama 1 tahun, ia berhasil mendapatkan dua lisensi diving yaitu beginner dari POSSI dan advanced dari PADI.

Saya pun semakin iri melihat kartu sim divingnya yang dikeluarkan dari dompetnya (dalam hati, di dompet saya cuma ada Matahari club, hehe). Wanita yang sudah berpetualang dari Aceh - Sorong ini berpesan bahwa selama ada waktu, kesempatan, dan uang, gali keterampilan yang kita punya, karena pada nanti keterampilan itu sangat mendukung dalam pekerjaan.

Entah kenapa kaki saya ini tidak ingin beranjak dari meja kerja Mba Chris yang dikelilingi dengan foto-foto diving berukuran 3R. Foto-foto tersebut tertempel melingkar di sekat meja kerjanya. Saya juga tidak kehabisan akal untuk menggali banyak informasi dari Mba Chris. Dia pun berbagi pengalaman selama ia liputan di beberapa suku pedalaman seperti salah satunya Suku Rimba.

Di Rimba, fotografer dilarang untuk memotret perempuan karena menurut kepercayaan adat Rimba, nilai perempuan tersebut akan jatuh. Maka dari itu, ada baiknya mendapatkan riset sebelum pergi ke suku-suku pedalaman yang benar-benar jelas dan dapat dipercaya. Selain itu, ia juga berpesan untuk siapapun yang ingin berkunjung ke daerah-daerah pedalaman, ada baiknya pada hari pertama, kita tidak melakukan apapun terutama memotret. Hal ini dilakukan untuk beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan dan masyarakat yang ada. Siapa tahu ada lokasi-lokasi dan objek yang tidak diperbolehkan untuk dikunjungi atau dipotret.

Bukan berarti menjadi penulis majalah travelling itu mudah. Mba Chris berkata bahwa mereka harus banyak membaca dan bisa pintar dalam mengatur waktu yang disediakan oleh redaksi untuk sebuah liputan. Untuk liputan ke daerah Nias, Mba Chris menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku-buku tentang Nias yang tebalnya ngga ketulungan itu. Langkah ini diambil untuk bisa mendapatkan informasi yang valid dan mengurangi resiko kesalahan di lapangan. Untuk waktu peliputan, masing-masing tim diberikan waktu 2 minggu. Ia juga bercerita bahwa tidak selamanya prediksi kita benar ketika sampai di lapangan. Bisa jadi ombak lebih besar atau Burung Maleo belum bisa bertelur di malam itu. Maka dari itu, waktu peliputan bisa diundur.

Ketika saya bertanya bawah laut mana yang paling keren selama Mba Chris diving, lagi-lagi dua kata itu terucap, “Raja Ampat!”. Niat untuk bisa pandai berenang dan diving benar-benar mengguncang hati dan pikiran saya. Sesaat sebelum berpisah dengan Mba Chris, ia memberikan alamat belajar diving dan sebuah CD berjudul “Reef Check”. Tak lupa ia juga membagikan kartu nama dan berpesan kalo mau tanya-tanya bisa melalui e-mail karena dia tidak terlalu aktif di media sosial lainnya.

Waktu untuk bermain di ruang redaksi National Geographic pun berakhir. Walaupun saya hanya berhasil berbincang-bincang cukup dalam dengan salah satu redaksi NG, saya merasa bahwa menjadi penulis traveling itu bukan sekedar gaya dan bisa jalan-jalan. Tidak hanya traveller writer tapi juga semua penulis harus mempunyai point of view dan mengangkat isu yang mungkin belum banyak disadari oleh masyarakat luas. 

Tiba-tiba saya pun teringat kenapa baru beberapa tahun terakhir ini Raja Ampat terkenal? Siapa sebenarnya yang pertama kali mengguncangkan Raja Ampat sebagai destinasi pariwisata di Indonesia? dan kenapa Bali bisa tenar sekali di mata dunia? Jawabannya : Baca buku. Pertanyaannya, udah ada belum buku yang menceritakan hal-hal diatas? Mungkin masih terlalu banyak buku-buku traveling dan pariwisata yang hanya membahas rute perjalanan bukan lebih ke isu bagaimana parawisata di sebuah daerah bisa berkembang, baik dari segi Sumber Daya Alam ataupun Sumber Daya Manusia. 

Melihat Masyarakat Jakarta dari Sisi Gerbong Kereta Ekonomi

Populasi Jakarta yang kian hari membeludak karena pertumbuhan internal maupun eksternal. Populasi penduduk yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan pun terbatas. Pemaksaan kebutuhan terjadi dimana-mana. Mungkin bukan lagi bicara soal kebutuhan pangan tapi juga kebutuhan akan gerak tepatnya jalan dimana kita berpijak. Tiap ruas jalan sudah dipadati dengan mal-mal megah ketimbang taman kota, dan juga kendaraan beroda yang kian menjadi raja-raja jalanan. Namun ada satu alat transportasi yang menurut saya cukup menyelamatkan mobilisasi setiap warga Jakarta setiap harinya, yaitu Kereta Api Ekonomi.

Kereta zaman dulu kala mungkin lebih sering digunakan untuk transportasi barang dan tawanan perang. Sekarang kereta api menjadi pilihan transportasi warga Jakarta setiap harinya. Dan kalau mau dipikir kritis lagi, ada berapa banyak masyarakat Jakarta yang bisa diselamatkan dari kepadatan jalan raya setiap harinya? Ada berapa banyak warga Jakarta yang dapat mencari lapangan pekerjaan di dalam kereta? Pertanyaan ini muncul ketika saya melamun dan memperhatikan aktivitas penumpang di dalam kereta api.

sumber : internet
Kereta Depok-Jakarta pagi itu sangat penuh hingga manusia-manusia memenuhi setiap jengkal atap gerbong. Pemandangan yang sangat indah dan tidak bisa lagi dibilang ironis. Sebuah pemandangan yang mungkin hanya bisa dilihat di Indonesia dan India. Ada dua alasan yang bisa saya simpulkan sendiri tentang keberadaan orang-orang atap gerbong itu. Pertama, mereka mungkin sudah tidak tahu mau dibawa kemana badan mereka selain di atas gerbong kereta. Kedua, mereka ingin menikmati udara segar pagi hari yang tidak bisa didapatkan jika mereka berada di dalam gerbong kereta. Ini pendapat bodoh-bodohannya saya aja sih sebenarnya. Lagi keliatannya mereka tidak takut dengan berita-berita kematian akibat tersengat aliran kabel listrik kereta api.

Di sisi lain, orang-orang dalam gerbong kereta api juga sudah menjadi resisten dengan keberadaan kereta api ekonomi tujuan Jakarta terebut. Mulai dari anak sekolah, mahasiswa, pekerja kantoran, dan pedagang menjadi satu di dalam kereta. Ibarat kata, melting pot, kereta ekonomi menjadi melting pot warga Jakarta tanpa harus memandang status sosial.

Pekerja kantoran yang terlihat sudah resisten dengan keadaan kereta ekonomi biasanya membawa kursi lipat kecil. Benda ini cukup fleksibel untuk diletakan dimanapun ketika tidak ada lagi space tempat duduk di kereta (promosi). Tapi tidak selamanya benda ini fleksibel karena sewaktu-waktu lantai kereta ekonomi pun hanya boleh dipijaki oleh kaki-kaki yang berjejal. Keadaan ini terjadi ketika jumlah penumpang sudah diambang batas kapasitas kereta. Dalam situasi seperti inilah, saya bisa melihat sisi lain dari Jakarta yang tidak hanya diidentikan dengan macet di jalan raya.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi ketika keadaan kereta ekonomi sudah cukup padat, masih saja penjual berlalu lalang dan pengamen bernyanyi riang. Mereka terus berjalan menawari barang dan jasa yang mereka miliki. Sesaat saya merasa kesal dan mengeluh dengan keadaan seperti ini. Tapi, saya sadar bahwa hiruk pikuk mereka bukanlah kesalahan mereka.

Ibu mana yang mau membiarkan anaknya menangis karena kepanasan di dalam gerbong kereta? Ayah mana yang mau membiarkan anaknya meminta-minta koin yang mungkin tidak juga bisa mengisi perut mereka dalam sehari? Mereka bersikap seperti itu karena adanya tuntutan kehidupan. . Ibu dengan anak yang menangis memilih kereta karena tidak ada transpotasi yang lebih cepat dan murah lagi di Jakarta selain kereta ekonomi. Ayah dan anak peminta-minta bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan perut mereka.

Di dalam kotak besi yang cukup usang ini, para penawar barang dan jasa rela hilir-mudik di tengah kesesakan karena mereka masih butuh pekerjaan dan uang. Dan mungkin mereka tidak yakin untuk mencari pekerjaan di luar gerbong. Para penumpang juga bersikeras mengadu sikut untuk menapaki kaki di pintu gerbong yang sudah berjejalan manusia. Setiap warga Jakarta melangsungkan hidupnya dan bertahan dengan kondisi ibukota Jakarta setiap harinya di dalam gerbong-gerbong tersebut. “Apakah kehidupan akan lebih baik di luar gerbong?”

(jadi pengen bikin dokumenter ttg kereta ekonomi di Jakarta deh,hehe)

Selasa, 18 Oktober 2011

Gede Pangrango : Mau dong...

14-16 Oktober 2011 (adventure)

"Mungkin kita bukan yang pertama tapi momen ini akan jadi yang pertama untuk mengenal masing-masing kita demi mencapai satu tujuan, Puncak Gede Pangrango..."

 

Momen ini dimulai dengan pertemuan saya dan seorang lelaki di kursi bis Psr.Rebo-Cipanas. Baru saja saya duduk di sebelahnya, teman-teman yang duduk berbaris di belakang jok kami berteriak,"Dia homo kok...". Dalam hati saya,"kok alay banget ya ini anak-anak", kaya baru liat cewek aja, haha. Bis pun berjalan dan percakapan dimulai. Ternyata dia, sebut saja Aming, mempunyai tujuan yang sama seperti saya dan teman-teman menuju Cipanas, tempat dimana jalur Gn.Putri berada. Suatu keberuntungan bisa bertemu Aming dan teman-teman karena sesungguhnya saya dan kawan-kawan Suma belum ada yang begitu paham dengan jalur Gn.Putri. Waktu itu kami cuma berharap dengan lembaran-lembaran kertas yang isinya jalur dan waktu pendakian milik teman kami. Ngeliat kertasnya aja udah kaya mau ujian besok, haha.

Hampir 2 jam lebih berada di dalam bis, ya pokoknya sampe di Cipanas (cepetin dikit ya ceritanya). Sampailah kami di Cipanas, suhu udara sudah mulai berubah. Ternyata, jumlah anak-anak UIN (Aming n'friends) cukup banyak, mana jantan semua lagi, ngga ada yg awewe barang sebiji gitu. Nasib saya menjadi wanita paling cantik edisi perjalanan kali ini,hehe. Selanjutnya, kami pun melanjutkan perjalanan dengan menyewa angkot menuju TNGP Gn. Putri. Kami bermalam hingga subuh menjemput tubuh yang diselimuti dinginnya angin saat itu. Mau dong........

Langit pun mulai terang. Pagi itu, saya, lisan, ryan, dika, dan oky memutuskan untuk bergabung secara resmi dengan tim UIN yang diketuai oleh Asep alias Bolang (Anggota Arkadia). Perasaan ini cukup aman karena paling tidak ada 1 anak mapala yang bisa memimpin perjalanan. Inilah anggota tim UIN : Asep, Aming, Fatih, Ipul, Gaston, Kwen, Ibenk, Seto. Kami semua bergabung dan resmi membentuk Grup PURPACALA (Pura-pura Pecinta Alam). Mantap !

Dengan doa dan niat besar di dalam hati ini, kami bersiap menuju target pertama... JAYA KENCANA!! (udah gede, salah lagi) SURYA KENCANA kalee...Pul ! haha. Baru saja beberapa menit kami melewati jalan setapak pinggir sawah, nafas mulai engap. Mungkin badan masih kaget dan pemanasan kurang. Pemanasan pake rokok sih... haha.

Beberapa jam kemudian....

"Bisa biasa aja ngga sih tanjakannya!" terucap dari bibir ini yang kayanya udah pengen diantup lebah hutan yang juga ngga santai beterbangan. "Gue mending dipukulin polisi bedarah-darah deh, langsung slese..!" seru Seto yang nampaknya butuh truk gandeng buat narik badannya sampe Surken.

Perjalanan kian menanjak. Sudah tidak terhitung berapa kali kami beristirahat. Kami pun bertemu banyak pendaki-pendaki dengan umur yang beragam, mulai dari bocah kira-kira umur 6 tahun hingga ibu-ibu 40 tahunan. Wah, niat semakin semakin besar melihat umur kami yang masih muda dan... nampaknya umur bukan jaminan, haha. Ternyata tidak semua anggota tim Purpacala melakukan persiapan joging yang cukup untuk pendakian ini. "Bangun aja jam 11 siang, ga sempet joging.." hayo sapa ini yang ngomong hayo. Dari Coki-Coki sampe Madurasa dikonsumsi untuk menambah persediaan tenaga.


Pendakian melalui jalur Gn. Putri memang lebih cepat dibandingkan Cibodas tapi sekalinya nanjak panjang banget. Ga nahan coy, betis. Koyo mulai menjalar di beberapa bagian tubuh. Oia, ada satu barang yang belum disebutkan dari tadi, Kacamata Hitam, mamen. Kayanya ini aksesoris yang Penting Banget buat Gaston, Asep, Ibenk, Ipul selama pendakian.

 Wah, apalagi si Ipul, pendaki dengan aksesoris terbanyak. Mp3, BB, Headset, Kacamata, Topi, Aki (buat isi batre gadgetnya, haha). Ipul ini manusia paling aktif selama perjalanan. Aktif dan terampil mengeluarkan suara-suara teman sepergaulannya, Beruk. Wuuuuuukk....! Bunyi ini sangat penting untuk menjadi tanda dimana keberadaan anggota lain yang terpencar-pencar. Ibarat mobil, bacotnya Ipul tuh kaya mobil-mobil 4WD, haha.

"Istirahat dulu, makan.. ini ada nasi uduk, bakwan.." ucap salah satu penjual nasi uduk yang tawarannya tidak sama sekali menggoda kami. Kaki terasa bosan berpijak di akar-akar liar Gn. Putri. Tidak semua kami menggunakan sepatu treking. Ada yang pake sendal gunung, running shoes, dan sepatu kuliah (satu-satunya sepatu yang dimiliki, pasrah amat mas). Beberapa saat kemudian.. "Nasi uduk.. nasi uduk..". Saya, oky, lisan, dika, dan ryan pun menyerah dan sangat bernafsu untuk makan nasi uduk si akang. "Beli.. beli.. beli..". Astaga, nasi uduk paling datar sedunia akherat. Ya mau gimana lagi, adanya kaya gitu. Telornya tipis terus cuma 1/4 telor dadar aja pake bihun dan sambal dikit. Tapi biar secuil, perut juga nerima. Waktu itu posisi sudah dekat dengan Simpang Maleber. Dan kami pun menghabiskan nasi uduk beserta bakwan yang nampaknya memberikan secercah harapan untuk segera sampai di Surya Kencana.

Singkat cerita...

Kami berhasil mencapai padang edelweis yang saat itu cukup terik. Edelweis nampaknya tidak sedang bermekaran. Sejenak melepas carrier, berbaring sambil menunggu beberapa teman yang belum kunjung tiba. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di bawah sana wahai Seto, Aming, Fatih, Kwen? Mereka tak kunjung datang. Asep mengajak untuk mencari tempat untuk berkemah.

Mata tidak lelahnya melihat sekeliling padang. Hati terobati dengan ciptaan Tuhan yang begitu indah di atas sini. "Kalo aja gue tinggal di bawah kaki gunung, tiap weekend gue main kesini kaya bocah-bocah yang denger-denger udah 11 kali ke Puncak Gede". Lama-lama jadi manusia akar deh tuh bocah-bocah, haha.
Spot kami berkemah terletak di balik semak-semak yang agaknya telah memberi kehangatan di malam minggu itu. Tiga kemah didirikan. Satu kemah kecil digunakan khusus untuk meletakan barang-barang saya dan kawan-kawan Suma, sekaligus menjadi tempat peristirahatan Oky (anak baru tidur sama barang dulu, anget loh). Suara angin dan kawan-kawan baru mulai bersahabat di telinga saya. Sambil memasak dan menikmati logistik masing-masing, celotehan "Mau dong" mulai dilempar satu-persatu. Adaaaaa aja yang di-Mau dong-in, haha. Fatih, chef tim UIN, terlihat setia memasak makanan untuk anak-anaknya. Macam warkop atau burjo (di Jawa) yang setia melayani pelanggan 24 jam. Dan Saudara Ipul mencoba untuk bercerita. Namun, nampaknya sangat gagal dan garing berat pokoknya. Tahun depan coba lagi ya, Pul.

Satu per satu kami mulai masuk ke dalam tenda, beristirahat menyimpan tenaga untuk perjalanan menuju Puncak Gede. Kami semua terlelap dan... Sunrise nampaknya sudah sangat rise kawan-kawan..haha. Semua terbangun lewat dari waktu yang ditentukan. Tapi besarnya niat untuk mencapai puncak tetap melekat di hati dan jiwa ini, lebay. Kami semua dengan cepat packing alat-alat kelompok dan pribadi.



Sinar matahari yang ditepis kabut memberikan kenikmatan tersendiri di pagi cerah Surken. Badan serasa ditusuk-tusuk dan muka berasa ditampar angin sejuk pagi itu. Kami pun merekam beberapa momen bersama di Surken. Tiga belas, bukanlah angka sial, jumlah tiga belas menjadi kekuatan untuk menggapai Puncak yang kami semua impikan. Setelah Asep memberikan pidato mujarabnya, kami menyatukan doa dan niat, dengan bersama meneriakan,"PURPACALA!" Berangkat...

Ibarat manusia bisa hidup tanpa oksigen, menuju puncak mustahil bila tidak ada jalur menanjak. "Baru jalan dikit aja udah engap, parah-parah" ucap Si Bolang, lelaki berkerudung biru yang mencari gadis berkerudung merah di Puncak Gede, hehe.

Dengan sekuat tenaga, sampailah di puncak. Selamat!
Saya sesaat terdiam dan mencoba menjawab pertanyaan yang sempat saya tanyakan ke Lisan,"Kenapa orang bisa suka naik gunung ya kalo nanjaknya aja menderita banget?". Memang cuma puncak yang bisa menjawab. Rasa bangga dan kebersamaan bercampur. Dika dan Ryan segera mengambil dslr-nya dan menjepret momen-momen indah kami semua. Tak ketinggalan, Fatih juga menjepret kawan-kawannya yang nampaknya sangat antusias terlihat dengan gaya Gaston yang bertelanjang dada, bercelana sobek-sobek, plus kacamata hitam andalannya..

Setelah puas jeprat-jepret dengan berbagai angle dan komposisi, kami bersiap menuruni puncak menuju kandang badak. Wah, Seto tersenyum lebar banget kayanya kalo turun. Turun tuh emang lebih enak jauh daripada naik, mau dong diturunin...


Persediaan air menipis. Saya sampai lupa minum atau ngga yah pas turun. Terakir minum pocari pas di puncak. Di kandang badak, Fatih buka lapak warkop lagi, hehe. Batre music gadget-nya Ipul masih aja nyala. Beneran pake aki nih kyanya. 'Kemana..kemana..." suara  "Ipulnya lagi nyari logistik di Bantargebang, yu". hahaha. parah-parah.

Botol-botol yang kosong terisi kembali. Cukup untuk masak dan persediaan air untuk turun.

Duh cowok-cowok penyakitnya emang di dengkul ya kalo turun. Makanya jangan cuma sehat fisik aja, mental juga dong, hahaha, sotoy. Sempat kami beristirahat di air panas untuk berendam dan mengisi perut. Semua logistik berat dikeluarkan. Kami makan bersama hasil masakan Fatih, Aming, dan Gaston. Wuidiiih.. mantap. Kentang pake sosis, kornet, sama indomi goreng dibagi bertiga belas. Setelah perut terisi kembali, kami kembali menuruni jalur cibodas.

Hari makin gelap sehingga langkah harus sedikit dipercepat. Kali ini Fatih yang bertugas membawa "Carrier Keramat UIN" yang sebelumnya lebih banyak digendong sama Asep. "Cepet..cepet..sampe yaampun, udahan", berbisik di dalam hati.


Alhamdulilah, Puji Tuhan, Awignamastu !

Kami sampai satu per satu di TNGP Cibodas. Lega banget rasanya bisa melihat kehidupan yang sesungguhnya bukan cuma hutan, batu,beserta akar-akarnya. Keringat yang mengucur pun mengering sesaat. Misi pun terselesaikan. Kami pun keluar dari TNGP Cibodas, menapaki jalan aspal pedesaan. Malam Senin ini, kami habiskan dengan makan bersama di rumah makan yang sudah menjadi langganan Fatih dan Asep, yaitu Mang Iding.


Pesan Kesan untuk Anggota Purpacala dari UIN...

Asep : entah harus bahagia atau derita bawa carrier keramat hampir selama perjalanan naik lewat putri, udah biasalah ya sep, kan Arkadia, parah-parah..
Fatih : cocok punya istri yang ga bisa masak..
Aming : tempat duduk membawa berkah..
Gaston : denger-denger tasnya ransel tapi isinya air semua? Pantes air cepet abis, hehe
Kwen : galau mas...
Seto : mending dipukulin polisi drpd naik gunung, yakin?
Ibeng : joging kalo mau naik lain kali
Ipul : no comment-lah, hahaha

saya bersama tim UIN
Seto, Kwen, Gaston, Ipul, Ibenk, Fatih, Asep


saya bersama tim SUMA UI
Oky, Lisan, Ryan, Dika

foto oleh febrian alsah, fatihadi, stenisia, mahardhika