"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Rabu, 19 Oktober 2011

Mencuri Informasi di Kantor Redaksi NGI !

 Jumat, 30 September 2011, saya bersama teman-teman Suara Mahasiswa UI berkunjung ke kantor Redaksi National Geographic Indonesia. Dalam rangka acara Klinik Jurnalistik, kami mengadakan kunjungan ini untuk berbagi pengalaman dan melihat cara redaksi NG bekerja dalam membuat sebuah liputan. Di sana kami dikumpulkan dalam ruang rapat redaksi yang tidak terlalu besar untuk menampung peserta juga panitia yang terlampau banyak. Beberapa panitia pun bersedia untuk menunggu di luar ruangan sampai sesi bincang-bincang dengan redaksi pun selesai.

Mas Firman Firdaus, yang akrab disapa Mas Daus mulai mempresentasikan latar belakang NG hadir di Indonesia dan produk-produk NG yang diterbitkan untuk masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat menganggap bahwa NGI ini berkaitan atau bersumber dari National Geographic Channel. Padahal sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk majalah NG yang beredar di Indonesia. Redaksi NGI memiliki beberapa produk yaitu Majalah National Geographic Indonesia, Majalah National Geographic Traveller, website nationalgeographic.co.id, dan fotokita.net.

Untuk majalah NGI sendiri dikerjakan hanya 20% redaksi NGI, sedangkan 80% hasil terjemahan dari NG luar negeri. Hal ini terjadi karena tim redaksi NGI belum dapat sepenuhnya melakukan riset untuk semua liputan dalam majalah NG dengan alasan waktu dan tenaga. Untuk majalah NG Traveller, bisa dikatakan sepenuhnya dikerjakan oleh redaksi NG Traveller Indonesia.

Setelah berbincang-bincang dalam ruang rapat redaksi, Mas Purwo (Alumni Suara Mahasiswa UI) memimpin kita untuk berkunjung ke ruang kerja redaksi NG. Disini peserta dan panitia bisa berinteraksi langsung dengan para redaksi dan mewawancarai seputar kerja redaksi. Kebetulan saya tidak banyak berputar-putar di ruangan ini karena jumlah peserta dan panitia ternyata tidak berbanding lurus dengan luas ruang redaksi NG. Seketika ruangan menjadi penuh dan agak susah untuk berkeliling ke se semua meja kerja redaksi. Saya memilih untuk stay di satu meja kerja redaksi yang dimiliki oleh seorang wanita dengan jabatan Text Editor, yaitu Christantiowati.

Yang membuat saya tercengang dalam hati ketika awal berkenalan dengan Mba Chris adalah beliau lulusan Ilmu Perpustakaan FIB UI. Lagi-lagi saya menyadari bahwa apa yang kita pelajari di kampus belum tentu akan sepenuhnya dapat disalurkan dalam pekerjaan. Mungkin passion Mba Chris memang menulis dan bukan berarti hanya mahasiswa sastra saja yang pandai menulis. Ia bercerita singkat mengenai pengalamannya dalam menulis. Awalnya Ia hanya mempublish iseng-iseng tulisannya di rubrik surat pembaca atau kolom untuk pembaca di majalah. Kemudian ia mulai menjadi penulis tetap di Intisari, Kompas, dan kemudian  Majalah NG.

Tak lupa saya juga bertanya-tanya dengan hobi  Mba Chris yaitu diving. Dia bercerita bahwa hobi diving-nya dimulai karena tuntutan pekerjaan. Waktu itu ada salah satu atasannya yang membutuhkan penulis yang juga bisa diving. Saat itu, umur Mba Chris sudah menginjak angka 30 tahun, dan disitulah ia baru mulai belajar diving. Ternyata, Mba Chris pun tidak begitu pandai dalam berenang. Les renang dan diving diambil oleh Mba Chris demi memenuhi persyaratan pengambilan lisensi diving. Akhirnya, selama 1 tahun, ia berhasil mendapatkan dua lisensi diving yaitu beginner dari POSSI dan advanced dari PADI.

Saya pun semakin iri melihat kartu sim divingnya yang dikeluarkan dari dompetnya (dalam hati, di dompet saya cuma ada Matahari club, hehe). Wanita yang sudah berpetualang dari Aceh - Sorong ini berpesan bahwa selama ada waktu, kesempatan, dan uang, gali keterampilan yang kita punya, karena pada nanti keterampilan itu sangat mendukung dalam pekerjaan.

Entah kenapa kaki saya ini tidak ingin beranjak dari meja kerja Mba Chris yang dikelilingi dengan foto-foto diving berukuran 3R. Foto-foto tersebut tertempel melingkar di sekat meja kerjanya. Saya juga tidak kehabisan akal untuk menggali banyak informasi dari Mba Chris. Dia pun berbagi pengalaman selama ia liputan di beberapa suku pedalaman seperti salah satunya Suku Rimba.

Di Rimba, fotografer dilarang untuk memotret perempuan karena menurut kepercayaan adat Rimba, nilai perempuan tersebut akan jatuh. Maka dari itu, ada baiknya mendapatkan riset sebelum pergi ke suku-suku pedalaman yang benar-benar jelas dan dapat dipercaya. Selain itu, ia juga berpesan untuk siapapun yang ingin berkunjung ke daerah-daerah pedalaman, ada baiknya pada hari pertama, kita tidak melakukan apapun terutama memotret. Hal ini dilakukan untuk beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan dan masyarakat yang ada. Siapa tahu ada lokasi-lokasi dan objek yang tidak diperbolehkan untuk dikunjungi atau dipotret.

Bukan berarti menjadi penulis majalah travelling itu mudah. Mba Chris berkata bahwa mereka harus banyak membaca dan bisa pintar dalam mengatur waktu yang disediakan oleh redaksi untuk sebuah liputan. Untuk liputan ke daerah Nias, Mba Chris menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku-buku tentang Nias yang tebalnya ngga ketulungan itu. Langkah ini diambil untuk bisa mendapatkan informasi yang valid dan mengurangi resiko kesalahan di lapangan. Untuk waktu peliputan, masing-masing tim diberikan waktu 2 minggu. Ia juga bercerita bahwa tidak selamanya prediksi kita benar ketika sampai di lapangan. Bisa jadi ombak lebih besar atau Burung Maleo belum bisa bertelur di malam itu. Maka dari itu, waktu peliputan bisa diundur.

Ketika saya bertanya bawah laut mana yang paling keren selama Mba Chris diving, lagi-lagi dua kata itu terucap, “Raja Ampat!”. Niat untuk bisa pandai berenang dan diving benar-benar mengguncang hati dan pikiran saya. Sesaat sebelum berpisah dengan Mba Chris, ia memberikan alamat belajar diving dan sebuah CD berjudul “Reef Check”. Tak lupa ia juga membagikan kartu nama dan berpesan kalo mau tanya-tanya bisa melalui e-mail karena dia tidak terlalu aktif di media sosial lainnya.

Waktu untuk bermain di ruang redaksi National Geographic pun berakhir. Walaupun saya hanya berhasil berbincang-bincang cukup dalam dengan salah satu redaksi NG, saya merasa bahwa menjadi penulis traveling itu bukan sekedar gaya dan bisa jalan-jalan. Tidak hanya traveller writer tapi juga semua penulis harus mempunyai point of view dan mengangkat isu yang mungkin belum banyak disadari oleh masyarakat luas. 

Tiba-tiba saya pun teringat kenapa baru beberapa tahun terakhir ini Raja Ampat terkenal? Siapa sebenarnya yang pertama kali mengguncangkan Raja Ampat sebagai destinasi pariwisata di Indonesia? dan kenapa Bali bisa tenar sekali di mata dunia? Jawabannya : Baca buku. Pertanyaannya, udah ada belum buku yang menceritakan hal-hal diatas? Mungkin masih terlalu banyak buku-buku traveling dan pariwisata yang hanya membahas rute perjalanan bukan lebih ke isu bagaimana parawisata di sebuah daerah bisa berkembang, baik dari segi Sumber Daya Alam ataupun Sumber Daya Manusia. 

Melihat Masyarakat Jakarta dari Sisi Gerbong Kereta Ekonomi

Populasi Jakarta yang kian hari membeludak karena pertumbuhan internal maupun eksternal. Populasi penduduk yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan pun terbatas. Pemaksaan kebutuhan terjadi dimana-mana. Mungkin bukan lagi bicara soal kebutuhan pangan tapi juga kebutuhan akan gerak tepatnya jalan dimana kita berpijak. Tiap ruas jalan sudah dipadati dengan mal-mal megah ketimbang taman kota, dan juga kendaraan beroda yang kian menjadi raja-raja jalanan. Namun ada satu alat transportasi yang menurut saya cukup menyelamatkan mobilisasi setiap warga Jakarta setiap harinya, yaitu Kereta Api Ekonomi.

Kereta zaman dulu kala mungkin lebih sering digunakan untuk transportasi barang dan tawanan perang. Sekarang kereta api menjadi pilihan transportasi warga Jakarta setiap harinya. Dan kalau mau dipikir kritis lagi, ada berapa banyak masyarakat Jakarta yang bisa diselamatkan dari kepadatan jalan raya setiap harinya? Ada berapa banyak warga Jakarta yang dapat mencari lapangan pekerjaan di dalam kereta? Pertanyaan ini muncul ketika saya melamun dan memperhatikan aktivitas penumpang di dalam kereta api.

sumber : internet
Kereta Depok-Jakarta pagi itu sangat penuh hingga manusia-manusia memenuhi setiap jengkal atap gerbong. Pemandangan yang sangat indah dan tidak bisa lagi dibilang ironis. Sebuah pemandangan yang mungkin hanya bisa dilihat di Indonesia dan India. Ada dua alasan yang bisa saya simpulkan sendiri tentang keberadaan orang-orang atap gerbong itu. Pertama, mereka mungkin sudah tidak tahu mau dibawa kemana badan mereka selain di atas gerbong kereta. Kedua, mereka ingin menikmati udara segar pagi hari yang tidak bisa didapatkan jika mereka berada di dalam gerbong kereta. Ini pendapat bodoh-bodohannya saya aja sih sebenarnya. Lagi keliatannya mereka tidak takut dengan berita-berita kematian akibat tersengat aliran kabel listrik kereta api.

Di sisi lain, orang-orang dalam gerbong kereta api juga sudah menjadi resisten dengan keberadaan kereta api ekonomi tujuan Jakarta terebut. Mulai dari anak sekolah, mahasiswa, pekerja kantoran, dan pedagang menjadi satu di dalam kereta. Ibarat kata, melting pot, kereta ekonomi menjadi melting pot warga Jakarta tanpa harus memandang status sosial.

Pekerja kantoran yang terlihat sudah resisten dengan keadaan kereta ekonomi biasanya membawa kursi lipat kecil. Benda ini cukup fleksibel untuk diletakan dimanapun ketika tidak ada lagi space tempat duduk di kereta (promosi). Tapi tidak selamanya benda ini fleksibel karena sewaktu-waktu lantai kereta ekonomi pun hanya boleh dipijaki oleh kaki-kaki yang berjejal. Keadaan ini terjadi ketika jumlah penumpang sudah diambang batas kapasitas kereta. Dalam situasi seperti inilah, saya bisa melihat sisi lain dari Jakarta yang tidak hanya diidentikan dengan macet di jalan raya.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi ketika keadaan kereta ekonomi sudah cukup padat, masih saja penjual berlalu lalang dan pengamen bernyanyi riang. Mereka terus berjalan menawari barang dan jasa yang mereka miliki. Sesaat saya merasa kesal dan mengeluh dengan keadaan seperti ini. Tapi, saya sadar bahwa hiruk pikuk mereka bukanlah kesalahan mereka.

Ibu mana yang mau membiarkan anaknya menangis karena kepanasan di dalam gerbong kereta? Ayah mana yang mau membiarkan anaknya meminta-minta koin yang mungkin tidak juga bisa mengisi perut mereka dalam sehari? Mereka bersikap seperti itu karena adanya tuntutan kehidupan. . Ibu dengan anak yang menangis memilih kereta karena tidak ada transpotasi yang lebih cepat dan murah lagi di Jakarta selain kereta ekonomi. Ayah dan anak peminta-minta bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan perut mereka.

Di dalam kotak besi yang cukup usang ini, para penawar barang dan jasa rela hilir-mudik di tengah kesesakan karena mereka masih butuh pekerjaan dan uang. Dan mungkin mereka tidak yakin untuk mencari pekerjaan di luar gerbong. Para penumpang juga bersikeras mengadu sikut untuk menapaki kaki di pintu gerbong yang sudah berjejalan manusia. Setiap warga Jakarta melangsungkan hidupnya dan bertahan dengan kondisi ibukota Jakarta setiap harinya di dalam gerbong-gerbong tersebut. “Apakah kehidupan akan lebih baik di luar gerbong?”

(jadi pengen bikin dokumenter ttg kereta ekonomi di Jakarta deh,hehe)