"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Kamis, 19 Juli 2012

#1 Gunung Papandayan: Depok-Garut-Cisurupan-Camp David!


Halo Papandayan!
Awalnya saya tidak sama sekali mengenal Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Saya tidak tahu bahwa gunung ini memiliki keindahan alam yang beragam. Perjalanan saya dimulai dengan enam orang teman yang dua diantaranya baru saya kenal saat perjalanan baru akan dimulai. Kami menunpangi bis Karunia Bakti AC rute Kp.Rambutan-Garut selama 5 jam. Tiba di terminal Garut pukul 19.00 WIB, kami mencari angkot carter menuju Desa Cisurupan. Kurang lebih 1 jam, kami tiba di Desa Cisurupan. Tidak terlalu sulit mendapatkan transportasi malam itu. Kami bertawar mobil bak untuk melanjutkan perjalanan Desa Cisurupan-Camp David (pos pendakian Gn. Papandayan). Mobil bak hitam berisi 7 orang pun bergerak menanjak sejauh 2 km menuju Camp David. Di atas mobil bak, kami memandangi bintang-bintang yang malu-malu keluar dari sarangnya. Langit terang pertanda cuaca baik untuk pendakian esok pagi. Kami sempat berhenti 20 menit untuk mampir membeli makan malam di warung kecil tidak jauh dari gapura Selamat Datang Desa Cisurupan.

Mobil bergerak kembali namun kali ini jalan sangat berbatu sehingga mobil mengedan. Was-was mendengar suara mobil yang mengerang seperti pesawat hendak lepas landas. Tiba-tiba mobil menyerah. Hal terburuk kami harus jalan menanjak aspal malam itu. Sayangnya, hal buruk itu terhindar dengan kedatangan mobil bak berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Akhirnya, kami hanya membayar 70% dari harga aslinya karena kami harus berpindah mobil lain. Sisa perjalanan menuju Camp David dilanjutkan dengan mobil bak yang bersuara lebih mulus dan nyaman.

Suara nyanyian kawula muda dengan gitarnya mulai terdengar. Ternyata kami sudah tiba di Camp David. Fasilitas di Camp David cukup memadai dengan adanya tempat parkir, pos penjaga, warung serta toilet umum. Tubuh mulai menyesuaikan suhu dingin di ketinggian 2000 mdpl. Jelas bahwa pendakian kami sudah diawali dengan menumpangi mobil bak Cisurupan-Camp David, hehe. Kami segera mendaftarkan diri untuk pendakian esok pagi. Bisa dikatakan cukup beruntung karena kami tidak perlu mendirikan tenda di Camp David untuk bermalam. Kami diberikan ruang kecil cukup untuk 7 orang tidur. Ruang ini sesungguhnya berfungsi sebagai pos yang menyediakan lesehan bambu untuk duduk atau berbaring. Di atas bambu inilah, badan 7 manusia malam itu merebahkan diri. Saat itu pukul 23.00 WIB, kami tertidur beralaskan dua sleeping bag yang ditebarkan di atas bambu tadi.

Tak mau tubuhnya kedinginan, salah seorang dari tim kami begitu siap dengan kostum hangatnya sampai-sampai raincoat terpilih menjadi kostum paling luar dari beberapa lapisan kostum sebelumnya. Alhasil, raincoat celana yang terlihat begitu ketat terpaksa robek dan tidak dapat digunakan kembali. Kami hanya dapat tertawa geli melihat aksi teman baru kami itu yang sangat waspada akan dingin.

Jam menunjukan pukul 02.00 WIB, kami semua terbangun karena ada teman kami yang meminta sleeping bag sambil berceloteh,”Sombong banget lo semua kalo ngga pake sleeping bag!”. Saat itu juga, kami semua mengambil sleeping bag masing-masing. Sejujurnya, kami semua kedinginan hanya saja kami sedikit bersandiwara malam itu, hehehe. Pagi hari yang dinanti pun tiba. Cuaca Camp David bersinar sekaligus menggetarkan badan. Dengan cuek, saya mengganti kostum celana pendek hitam dan kaos hitam untuk melawan suhu dingin saat trekking nanti. Kami packing dan bersiap mendaki dimulai pukul 07.00 WIB.

Raincoat All Size

Camp David Pagi Hari
Pos Camp David

#2 Gunung Papandayan: Bertamu Ke Rumah Si Cantik Edelweis


Fenomena alam pertama yang kami jumpai tidak jauh dari Camp David adalah kawah-kawah papandayan. Terdapat kurang lebih 14 kawah di Gn. Papandayan. Di lokasi ini kami hanya melihat beberapa kawah yang bergemuruh. Kawah ini merupakan tujuan wisata layaknya Tangkuban Perahu atau Kawah Putih Ciwidey. Namun, trek menuju kawah ini tidak seperti Kawah Putih karena trek lebih berbatu dan menanjak. Kami semua mulai menggunakan masker agar tidak terhirup asap belerang. Jika merasa kuat dengan asap belerang, telapak tangan mungkin cukup untuk menahan bau belerang. Sedikit sulit bagi saya yang berkacamata ketika hidung dan mulut saya ditutup dengan masker, dan hembusan napas mengenai kacamata. Hal ini menyebabkan kacamata saya berkabut. Untungnya, trek melewati asap belerang tidak begitu panjang. 


Masker disimpan kembali dan kami pun menuruni jalan kawah dan menemukan sungai kecil. Selanjutnya bukit-bukit batu menghiasi alam tempat kami memijakan kaki. Pemandangan bak bukit-bukit di Swiss atau New Zealand ini nampaknya membuat kami berhenti sebentar untuk berfoto (padahal pulang lewat sini lagi). Trek beragam mulai dari kerikil-kerikil kawah, bukit-bukit pasir, dan sesekali jalur datar bahagia. Kurang lebih 3 jam sudah kami menyusuri jalur yang berliku tibalah kami di Pondok Saladah. Areal padang seluas 8 hektar ini hanya ditumbuhi sedikit edelweiss. Tanah datar cukup lapang membuat Pondok Salah direkomendasikan sebagai tempat berkemah di ketinggian 2282 mdpl. Namun, tim kami hanya memilih Pondok Saladah sebagai tempat peristirahatan sementara. Pukul 09.30 WIB, kami mengeluarkan beberapa perbekalan untuk mengisi tenaga. Saya juga sempat bertanya kepada beberapa orang mengenai jalur menuju dead forest, Tegal Alun, dan Puncak. Namun, saya mendapatkan beberapa versi.
Hutan Mati

Jam menunjukkan pukul 10.30 WIB dan pendakian dilanjutkan menuju dead forest atau hutan mati. Menurut sketsa peta abstrak yang kami dapatkan dari penjaga pos Camp David, gunung putih yang dimaksud adalah dead forest. Memang dari Pondok Saladah, dead forest terlihat seperti gunung yang berwarna putih. Berkat bantuan seorang lelaki SMA asal Garut, kami sampai di hutan mati. Saya juga sempat bertemu dengan kawanan anak muda asal Bandung yang mengaku tinggal satu gang. Mereka baru saja turun dari Tegal Alun tanpa membawa cariel karena perlengkapan mereka tinggalkan di tenda Pondok Saladah. Mereka juga berkata bahwa tidak akan ada yang berkemah di Tegal Alun. Informasi ini tidak menyurutkan niat kami untuk mendirikan tenda di Tegal Alun. Mengenai alam hutan mati, hutan ini terbentuk akibat letusan Gunung Papandayan tahun 2002. Hutan sekitar menjadi kering dan dipenuhi dengan abu vulkanik. Hutan mati menjadi fenomena alam yang mengagumkan jika diabadikan dengan lensa kamera. Abu vulkanik dan pohon-pohon keringnya sesekali terlihat serupa dengan pohon kering dan salju saat musim dingin.

Lima Kawan Baru dari Bandung (Hutan Mati)
Tujuan kami sesungguhnya adalah Tegal Alun. Padang Edelweis yang berada di ketinggian 2.600 mdpl. Kami disambut dengan meriah oleh hamparan edelweis seluas 32 ha. Sungguh luar biasa bagi saya yang baru kali kedua melihat bunga-bunga abadi yang tumbuh liar di padang seluas ini. Bahagia tentunya bisa menginjakan kaki di Tegal Alun. Kami tiba sendiri. Berkemah sendiri. Hingga turun dari Tegal Alun sendiri. Kami seperti tamu VVVIP di Kerajaan Edelweis Tegal Alun.


Sebelum tiba di Tegal Alun, saya sempat mendapatkan informasi kalau di dekat Tegal Alun terdapat sumber air. Akhirnya beberapa dari kami harus mencari sumber air tersebut untuk menambah persediaan air minum dan masak. Sebagian dari kami mulai mendirikan tenda, mencari kayu bakar untuk api unggun, dan memasak makan siang di sore hari, haha. Beberapa jam kemudian, teman-teman pun kembali dengan membawa botol-botol berisi air segar dari mata air yang mereka temukan, Dan saat itu juga makanan besar kami sudah siap untuk disantap.

Kira-kira pukul 18.30 WIB kami selesai makan dan mulai menyalakan api unggun. Entah mengapa waktu terasa begitu lambat. Mungkin Tegal Alun masih merindukan kami bersamanya (gombal pisan). Saya suka sekali kehadiran api unggun, celotehan malam ngalur ngidul, dan segelas white coffee yang disuguhkan malam itu. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman dari berbagai ilmu pasti sampai yang tidak pasti sekalipun, hahaha. 

Malam masih panjang sekali. “Spertinya tungku mulai padam...” seru salah satu teman saya yang nampaknya mulai mengambil langkah untuk masuk ke dalam tenda. Mari kita habiskan malam dengan bermain kartu. Bosan bermain kartu, beberapa dari kami memasak minuman-minuman hangat sambil mulai menengok ke atas langit. Ya, surga bintang betul-betul malam itu. Kali ini saya melihat bintang layaknya pasir di langit. Malam itu, di atas langit Tegal Alun, kami menyaksikan panorama galaksi bimasakti atau Milky Way. Sumber google mengatakan bahwa ada sekitar 200-400 milyar bintang dengan ketebalan 1000 tahun cahaya dan  diameter 100.000 tahun cahaya di galaksi bimasakti ini. Bahagia bukan main. Siang hari melihat hamparan edelweiss, malam hari melihat hamparan bintang. Tegal Alun atas bawah oke berat!


Pondok Saladah




Akhirnya Sampai Di Tegal Alun
Sunrise Dari Tegal Alun
Si Cantik Edelweis, Tegal Alun
Tegal Alun Pagi Hari

Foto oleh Novita Eka Syahputri

#3 Gunung Papandayan: Ragam Alam Dalam Satu Pendakian




Tak habis-habisnya saya dijamu oleh Tegal Alun. Malam hari suhu dingin menusuk telapak kaki saya yang sesungguhnya sudah terlapisi 3 potong kaos kaki ditambah plastik di dalam sleeping bag. Habis gelap terbitlah terang (akhirnya). Masih dingin dan dingin di Tegal Alun. Tapi setidaknya cahaya matahari mulai menyinari bukit-bukit dan padang edelweiss pagi itu. Melihat persediaan air yang kurang setelah sarapan pagi, saya bersama beberapa teman mengunjungi mata air bidadari (sebutan fiktif) untuk mengisi persediaan air minum, mencuci peralatan masak, dan cuci muka. Ternyata menuju mata air perlu berhati-hati karena harus turun ke bawah bukit yang tanahnya lumayan lembek. Kira-kira 20 menit saya tiba di mata air tersebut.

Mencari Mata Air Bidadari
Segera kami menyelesaikan aktivitas di mata air bidadari. Saya lupa bercerita kalau kami sempat melihat jejak binatang seperti jejak babi hutan. Mungkin memang ada babi hutan namun untungnya binatang itu tidak menyerang kami kemarin malam. Jika memang ada babi hutan di sekitar anda, tebarlah garam di sekitar tenda. Jam menunjukan pukul 09.30 WIB. Kami bersiap-siap merapikan semua alat yang masih tercecer di dalam tenda. Packing serapi mungkin dan pungut sampah sebersih mungkin. Tidak ada satu sampah yang tertinggal karena lebetulan di Tegal Alun belum ada jasa tukang sapu, hehehe.

Satu jam sebelum matahari tepat di atas kepala, kami mengucapkan selamat tinggal kepada Tegal Alun dan an bersiap menuruni gunung berjarak ratusan mdpl. Sepatu bertemu kembali dengan jalur beraneka rupa ala Gn. Papandayan. Dan nampaknya alas sepatu saya sudah mulai terbuka. Jalur yang kami lalui tidak terlalu jauh berbeda. Hanya ada beberapa jalur cepat dan nyaman yang kami pilih dari sebelumnya. Tali-tali rafia yang terikat di pohon mulai memulihkan ingatan kami untuk pulang ke Camp David.

Tak lupa juga kami sekali lagi mengabadikan momen-momen indah di setiap jejak yang sudah kami lalui di Gn. Papandayan. Mulai dari Pondok Saladah, Hutan Mati, bukit, sungai, dan kawah. Terimakasih kepada Tuhan karena telah memberikan cuaca yang begitu cerah selama kami melalukan pendakian ke Papandayan. Selain itu, keberanian untuk kami berkemah di Tegal Alun. Meskipun kami tidak sampai puncak, saya sudah merasa puas bisa menikmati indahnya Tegal Alun. Bukan karena cepat merasa puas tapi karena resiko yang cukup besar untuk bisa summit tanpa ada petunjuk yang jelas. Berkenalan dengan teman-teman baru menjadi salah satu hal yang sukai ketika mendaki gunung. Nampaknya kali ini, Gn. Papandayan berhasil meluluhkan hati saya dengan harta terpendamnya.

Sampai Jumpa Tegal Alun








Biaya Angkutan Menuju Kp. Rambutan - Camp David:
-Bis Kp. Rambutan/Pasar Rebo - Garut Rp 33.000,-
-Carter Angkot Terminal Garut-Desa Cisurupan Rp 110.000,- (7 orang)
-Desa Cisurupan- Camp David Rp 10.000,-
-Retribusi Camp David Rp 3.000,-

Pulau Tidung: Suguhan Ironi Jembatan Cinta

Tidak begitu jauh dari Muara Angke, Pulau Tidung dapat diakses hanya dengan 2,5 jam perjalanan kapal. Ini kali kedua saya mengunjungi pulau di Kepulauan Seribu. Beberapa bulan lalu saya memilih pulau yang tidak padat penghuni bahkan bisa dikatakan sepi sekali. Kali ini Pulau Tidung justru begitu padat dengan rumah-rumah penduduk yang tinggal dan bekerja di sekitar pulau. Bisa dikatakan pulau ini merupakan salah satu destinasi teramai di antara pulau-pulau di Kepulauan Seribu.

Saat itu kapal yang saya tumpangi cukup padat. Kami memilih untuk duduk di dek atas. Kapal bergerak seiring dengan ombak-ombak kecil yang menggiring kapal ke tengah laut. Saya cukup terkejut saat sampai di Pulau Tidung. Ibarat artis yang dikerumuni fansnya. Pulau ini nampak seperti pasar sesaat semua kapal berlabuh dan para penumpang berhamburan turun di dermaga. Keadaan ini jauh berbeda dengan apa yang saya alami ketika tiba di Pulau Harapan beberapa bulan lalu. Sejujurnya, apa yang membuat pulau ini bisa menjadi begitu ramai? Mari kita tanyakan pada jembatan cinta yang menjadi lokasi favorit para wisatawan di Pulau Tidung.


Ya, Jembatan Cinta merupakan objek wisata favorit di Pulau Tidung. Untuk sampai di Jembatan Cinta, saya hanya menyewa sepeda dari penginapan. Dalam beberapa menit saja, saya sampai di lokasi Jembatan Cinta berada. Bagi kalian yang ingin mencoba kendaraan lain, Pulau Tidung menghadirkan becak motor atau bentor untuk menuju Jembatan Cinta atau mengelilingi pulau. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan di pantai sekitar Jembatan Cinta antara lain, bermain voli pantai, banana boat, jet ski, melompat dari atas Jembatan Cinta, dan menyusuri Jembatan Cinta hingga ke Pulau Tidung Kecil.

Lompat dari Jembatan Cinta
Biaya untuk bermain banana boat hanya Rp 35.000/orang. Speed boat akan membawa banana boat Anda berputar sebanyak 2 kali kemudian badan akan terhempas dengan kasar ke laut. Tidak perlu takut tenggelam karena pelampung yang menempel di badan pasti akan menyelamatkan Anda. Jika ingin mencoba sensasi melompat setinggi 7 meter, silahkan coba melompat dari atas Jembatan Cinta. Momen ini cukup indah untuk diabadikan dengan jepretan lensa kamera. Beberapa teman saya mencoba dan badan mereka terasa sakit di beberapa bagian. Baiknya posisi saat melompat perlu diperhatikan agar badan tidak tersakiti.


Siang hari menuju sore, kami berjalan menyusuri Jembatan Cinta yang begitu buruk jika dilihat lebih dekat. Beberapa kali saya googling, saya tidak pernah mengetahui bahwa kenyataannya Jembatan Cinta memiliki sisi yang perlu diperhatikan. Saya pikir Jembatan Cinta merupakan icon wisata Pulau Tidung yang tidak boleh mati. Jembatan ini memang sudah didirikan bertahun-tahun untuk menghubungkan Tidung Besar dan Tidung Kecil. Pemerintah setempat seharusnya lebih serius menanggapi keadaan fisik Jembatan Cinta ini. Bagaimana tidak, ratusan pasang kaki wisatawan per hari atau saat weekend pasti menginjak jembatan tersebut. Kerusakan-kerusakan pada Jembatan Cinta ada baiknya cepat diantisipasi mengingat kenyamanan dan keselamatan para wisatawan yang menyusuri  jembatan ini. Jembatan kayu yang lebarnya standar tiga badan orang dewasa ini sepertinya tidak seromantis Jembatan Cinta yang sering terlihat di foto-foto landscape tangkapan kamera wisatawan. Layaknya gigi bolong yang tak terlihat di dalam mulut begitu pula Jembatan Cinta dengan kayu keropos yang hingga saat ini masih bertahan menunggu tangan-tangan membenahi diri mereka.

Kerusakan Jembatan Cinta, Pulau Tidung
Setelah mengunjungi Pulau Tidung Kecil, kami kembali ke penginapan. Malam harinya kami menikmati ikan bakar (dalam paket wisata disebut barbeque) yang sudah siap untuk disantap oleh rombongan kami. Jika jumlah anggota rombongan cukup banyak, acara tukar kado mungkin bisa menjadi inspirasi Anda untuk meramaikan malam terakir di Pulau Tidung. Anda juga bisa bermain kembang api jika sudah mempersiapkannya sebelum tiba di pulau ini. Larutnya malam membawa kami tertidur pulas hingga listrik mati membuat kami kepanasan di malam hari. Namun, saya tetap berusaha tidur sambil menanti waktu snorkeling esok pagi. 

Di Atas Jembatan Cinta
Acara Tukar Kado

Senin, 02 Juli 2012

#1 Pulau Sempu: Hai Hutan Binal!

januari 2010

Bagi saya, pengalaman traveling ke pantai yang begitu berkesan dan masih sangat terekam di memori ini adalah perjalanan menuju segara anakan di Pulau Sempu. Awalnya saya membayangkan kalau segara yang mirip dengan pantai ini berada di pinggir laut yang bisa kita hampiri dengan kapal lalu bisa langsung turun berenang di pantai. Bayangan ini pun berputar 180 derajat ketika saya tiba di Teluk Semut, lokasi pemberhentian kapal yang hanya saya tumpangi selama 10 menit dari Sendang Biru. Dengan kata lain, Teluk Semut merupakan pos perantara Pantai Sendang Biru dengan Pulau Sempu.

Langkah pun dimulai. Bayangan untuk tiba di pantai dan bisa langsung berenang pun berangsur surut. Perlahan langkah semakin berat. Saya dan teman-teman tersadar kalau sandal yang kami gunakan tidak sanggup terangkat kembali karena tanah yang kami pijak begitu lembek dan dalam. Alhasil, satu per satu dari kami merelakan sepasang kaki ini berkenalan dengan jalur trekking menuju Sempu. Hujan semalaman nampaknya telah mengakibatkan tanah hutan menjadi becek dan lembek. Hal ini semakin menyulitkan kami berjalan sekaligus menantang kami untuk lebih berkawan dengan alam.


Tak pernah terbayangkan oleh saya, ada pantai di balik hutan belantara seperti itu. Mungkin rombongan kami kurang beruntung saat itu karena mendapati jalur trekking yang tidak bersahabat.  Perasaan takut akan pacet atau binatang melata lainnya di hutan begitu meraung. Pikir saya, seberat inikah pergi ke sebuah pantai yang mungkin tidak akan seindah yang saya bayangkan.

1,2,3 jam berlalu.. Kaki sudah tidak lagi pandang bulu. Segala pijakan yang memungkinkan untuk diinjak, kami injak dengan penuh keyakinan. Akibat tekad yang begitu besar, beberapa dari kami ada yang tertusuk akar atau ranting kecil yang tertutup dengan tanah. Dan ini kali pertama saya melihat orang menangis di dalam hutan. Perasaan campur aduk terutama bingung harus berbuat apa. Saya hanya bisa berdoa supaya kaki ini bisa utuh hingga pulang kembali ke Jakarta.

Hutan menuju Pulau Sempu cukup sempit karena vegetasi alam cukup lebat. Beberapa pohon besar melintang menutupi jalur trekking. Akar-akar pohon besar menjalar menuruni gundukan tanah. Sesekali kami merangkak menapaki gundukan akar yang bergelombang. Untuk menambah semangat, senyuman pun sesekali dilemparkan meskipun kaki tercabik-cabik dan hati terkhianati dengan kesialan jalur trekking ini. 

Perlahan suara deburan air terdengar. Bau laut terhirup segarnya. Kaki pun terhipnotis secepat mungkin melangkah. Sampai-sampai saya lupa sama rombongan yang masih tertinggal di belakang. Yasudahlah.. Pasang gigi 5..!

Surga pun terbuka. Api neraka mulai mereda seketika melihat air hijau segara anakan dari sela-sela pohon di pinggir hutan. Hingga akirnya mata saya dihadapkan dengan segara anakan dibalik hutan dan Samudera Hindia, ini dia Pulau Sempu. Pulau yang dibatasi dengan tebing ini menjadi sebuah fenomena alam pantai terindah di timur Pulau Jawa. Pantai yang membuat penghuninya lupa akan adanya perkotaan dan kemacetan nun jauh disana. (bersambung ke #2 Pulau Sempu)


#2 Pulau Sempu: Hai Hujan Malam !

"Bak langit-langit dome yang dihiasi bintang-bintang, pemandangan Pulau Sempu malam itu mulai saling bertawar dengan perasaan hati yang terkhianati oleh suasana hutan belantara siang tadi.."

Tanpa kami sadari jam sudah menunjuk pukul 2 siang sesaat kami tiba di pulau ini. Dan tanpa kami sadari pula, empat jam waktu kami sudah terenggut di dalam hutan. Tiba saatnya kami bersantai sejenak mengistirahatkan sendi dan otot yang tegang. Kegiatan berenang di pantai baru akan dimulai (akhirnya). Kaki-kaki kami agaknya cepat atau lambat mengeruhkan air pantai menjadi kecoklat-coklatan. Ibarat pulang dari pasar masuk ke rumah yang baru saja dipel, seperti itulah kaki kami keluar dari hutan kemudian datang ke pantai.


Cuaca terik matahari membuat warna air segara kian menghijau. Meskipun berendam dengan cuaca seperti ini dapat membakar kulit, saya dengan cuek mengenakan celana cukup pendek dan kaos hitam agak ketat. Ikan-ikan kecil berenang di pojok-pojok segara dapat terlihat dengan jelas karena air segara yang begitu jernih.

Di tengah keasikan saya berendam, ada kabar yang seketika membuat galau hati ini. Jam kedatangan kami di Pulau Sempu terlalu siang,sedangkan kami masih perlu trekking lagi keluar hutan untuk kembali ke tujuan kami semula. Hal ini perlu dipertimbagkan mengingat kami tidak bisa berjalan di hutan tanpa ada penerangan. Dan yang paling membuat gundah adalah kami tidak membawa perlengkapan untuk menginap minimal tenda peristirahatan dan senter. Bahkan hanya sedikit yang membawa bekal perjalanan. Saat itu saya hanya membawa roti, biskuit, dan aqua 1 stengah liter. Pulau ini juga terbilang irit air tawar bahkan mustahil bisa bertemu sumber air tawar. Semakin galau, semakin kami mendaftarkan kekurangan-kekurangan yang kami miliki dan bahaya-bahaya yang mungkin kami hadapi apabila tetap nekad menyusuri hutan di malam hari. Akhirnya, hasil musyawarah sepakat memutuskan untuk menginap di Pulau Sempu dengan keterbatasan yang kami miliki.

Senja pun tiba. Beberapa pengunjung Pulau Sempu mengeluarkan peralatan camping-nya dan mulai menyalakan lampu minyak yang dibawanya. Di sudut lain, kami terpojok sambil berpikir apa yang harus kami perbuat. Satu per satu mulai bergerak mencari kayu-kayu bakar dari ranting-ranting pohon sambil menahan lapar perut ini. Salah seorang dari rombongan mencoba menghubungi orang di Sendang Biru untuk mengirimkan bala bantuan bagi kami kaum yang lemah dan sotoy ini. Sambil menunggu bantuan datang, kami mengumpulkan bekal yang ada di dalam tas dan memilih bekal mana yang bisa sementara menyumbat rasa lapar ini sebelum nasi bungkus datang. Sisa bekal disimpan di dalam tas untuk sarapan mini esok pagi. Berbagi biskuit malam itu penuh dengan perhitungan dan keikhlasan. Tiba-tiba teringat adegan Mr.Bean yang penuh perjungan hanya untuk makan sepotong roti dengan ikan super kecil. Sembari menunggu beberapa kamera memotret penampakan saya dengan rambut lepek dan muka berminyak. Ini hal yang paling membetekan ketika seusai berenang di laut kemudian rambut tidak tersentuh air tawar.


Malam semakin mengahampiri kami. Dan bintang-bintang di atas langit Pulau Sempu mulai menyapa bertebaran dengan indahnya. Dengan beralaskan sarung yang di-share bersama dua senior saya di atas pasir pantai, saya menyaksikan keindahan alam malam itu. Ini merupakan intermezzo terindah kala menunggu bala bantuan datang dari seberang sana. Bak langit-langit dome yang dihiasi bintang-bintang, pemandangan Pulau Sempu malam itu mulai saling bertawar dengan perasaan hati yang terkhianati oleh suasana hutan belantara siang tadi.

Akhirnya dua orang relawan (mas-mas) datang dari dalam hutan gelap membawakan kami tenda dan nasi bungkus. Saya tidak tahu apa isi nasi bungkus tersebut karena gelapnya malam dan ketidaksanggupan lagi untuk memprediksi daging yang saya makan. “Mungkin ayam, ya sepertinya ayam, agak pedes.” Yang penting kenyang.

Waktunya membuat api unggun dan tenda. Saat itu saya merasa buta sebuta-butanya bukan hanya karena tidak ada penerangan tetapi buta dengan cara membuat tenda dari terpal. Laki-laki mulai berpikir dan berpikir. Lebih tepatnya lagi mengakali bagaimana supaya terpal ini bisa menjadi tenda peristirahatan. Setelah 1 jam berlalu, tenda karya kami pun bediri dengan penuh keragu-raguan. Hahaha. Bagaimana tidak, tenda ini hanya diikatkan dengan pancang-pancang kayu seadanya. Yang penting jadi tenda dua sisi (tenda sesungguhnya 5 sisi).

Hanya rombongan perempuan yang dapat menikmati tidur di dalam tenda amatir kami. Dan laki-laki dengan jantannya tidur di atas pasir pantai. Sedikit demi sedikit mata kami terpejam. Malam dan angin menyatu sampai akhirnya kilat dan petir menyambangi Pulau Sempu. Titik-titik hujan membesar dan terjadilah hujan cukup lebat sehingga tenda yang kami bangun tidak cukup sanggup menahan perihnya angin yang menerpanya. Panik. Kami semua berusaha membubarkan diri dari tenda dan pantai yaitu dengan cara mengevakuasi rombongan ke tenda-tenda rombongan lain. Ini adalah cara terbaik yang kami pikir jauh lebih aman daripada bertahan dengan kemampuan kami sendiri. (bersambung ke #3 Pulau Sempu)

#3 Pulau Sempu: Hai Hewan Nakal !


Tibalah saya dan tiga teman lainnya di tempat pengungsian alias di bawah fly sheet yang terpancang di dahan-dahan pohon. Disitu ada beberapa laki-laki pemilik fly sheet, kompor gas kecil, dan panci berisi rebusan air. Indahnya melihat rebusan air dan teh celup yang siap diseduh dalam gelas plastik. Kami duduk dengan manis sekali malam itu. Sikap pemalu kami pun disapa ramah dengan segelas teh hangat dan sepiring mi goreng. Inilah hikmah dibalik ancaman. Entah bagaimana keadaan teman-teman di tenda-tenda evakuasi lainnya. Apakah mereka juga disapa dengan ramah seperti kami disini. Yang jelas saya sangat menikmati perbincangan basa-basi dengan mas-mas Jawa ini sambil memperhatikan kostum yang mereka kenakan. Saya pikir kostum mereka begitu hangat dan lengkap melindungi sekujur tubuh masing-masing. Kaos kaki, topi rajut, jaket, celana panjang. Di sisi lain, dresscode saya lebih into the wild daripada mereka, yaitu kaos, celana pendek, dan sandal jepit. Antara Into the wild dan into the hell beda tipis sih rasanya.

Malam terasa seabad berganti menjadi pagi. INGIN PULANG. Akibat kedatangan kami di tenda mas-mas ini, kami sedikit kurang menghabiskan persediaan air yang mereka miliki. Namun, akal cerdik kami tidak sebanding dengan yang mereka miliki. Air hujan yang tertapung di atas fly sheet dimasak dan jadilah teh manis. Hahaha. Yang penting sudah dimasak. Di sela-sela waktu berbincang, saya melihat ada beberapa binatang kecil putih berjalan di pasir pantai. Besarnya seperti nasi putih hanya saja mereka memiliki kaki. Hewan apakah itu?

Setelah hujan reda, kami kembali ke titik dimana tenda kami berdiri beberapa jam lalu. Kami berkumpul dan dengan cuek tidur di atas  pasir pantai lembab akibat hujan. Ada yang kedinginan karena baju basah kuyup, ada yang dinyamukin, ada yang gatel-gatel, dan sebagainya. Kami menyambut pagi dengan penuh keceriaan meskipun agak sedikit kaget dengan muka seorang teman yang merah seperti ditabok oleh lebah. Ternyata mukanya digigit nyamuk kemudian ia garuk hingga bisa membengkak seperti itu.

Kami merapikan barang-barang bawaan. Berfoto-foto sebentar dan berbagi roti sisa bekal.  Kami berdoa bersama dan bersiap menapaki kembali jejak-jejak yang kami tinggalkan kemarin di hutan. Dan tanah hutan pun lebih becek dan licin dari kemarin. Kalau kemarin kami menghabiskan waktu 4 jam, sekarang kami menghabiskan waktu 7 jam dari Pulau Sempu hingga Teluk Semut. Medan yang kami lewati terasa lebih berat untuk teman kami yang juga berbadan berat. Sesekali terpleset, tertawa, mengangis, dan terdiam kembali. Bahkan ada yang berpikir untuk menelpon tim Sar. Hahaha

Saya ingat sekali saat kami akhirnya sampai di Teluk Semut. Ada seorang laki-laki yang berkata kepada saya,”Mba, ini rombongan yang tadi pagi berangkat lebih pagi dari kami kan?”. Saya agak ragu menjawab karena tidak ingat dengan wajah laki-laki ini. Laki-laki itu pun berkata lagi,”Iya saya jalan setelah kalian sudah berjalan”. Dalam hati, “oke lo lebih cepat daripada gue, selesai”. Mungkin laki-laki itu terkejut dengan kedatangan kami yang jauh lebih lambat daripada dia. Ya memang kali ini rombongan kami kalah banyak tetapi kami tidak kalah dengan binalnya jalur trekking hutan dan Pulau Sempu yang cukup menguji fisik dan mental kami. Perjalanan Teluk Semut-Sendang Biru dilanjutkan selama 10 menit. Berat hati meninggalkan Pulau Sempu tetapi tak apa lain kali kesana lagi mungkin dengan orang yang berbeda dan tentunya cuaca lebih baik. Saya dan teman-teman kembali ke Jakarta.

Dan beberapa hari kemudian, timbul bintik-bintik merah di sekujur kaki saya seperti bentol-bentol yang dahsyat sekali gatalnya. Balsem panas sampai bedak gatal saya pakai untuk mengurangi rasa gatal. Saya menyerah dan pergi ke dokter untuk mengobati kaki yang sudah buruk rupa ini. Dokter pun memberikan salep gatal yang cukup ampuh mengurangi bintik-bintik merah tersebut. Ternyata beberapa teman juga mengalami hal yang sama seperti saya. Dan saya pun tersadar bahwa hewan-hewan nasi berkaki itu adalah penyebab penyakit ini. Hewan ini memang hidup di pantai tidak hanya di Pulau Sempu tetapi beberapa pantai lainnya. Dan hewan ini berpotensi menggigit tanpa ada rasa apapun meskipun akhirnya menyebabkan rasa gatal yang amat sangat. Terimakasih untuk kutu babi yang telah memberikan oleh-oleh dari Pulau Sempu !