"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Senin, 02 Juli 2012

#1 Pulau Sempu: Hai Hutan Binal!

januari 2010

Bagi saya, pengalaman traveling ke pantai yang begitu berkesan dan masih sangat terekam di memori ini adalah perjalanan menuju segara anakan di Pulau Sempu. Awalnya saya membayangkan kalau segara yang mirip dengan pantai ini berada di pinggir laut yang bisa kita hampiri dengan kapal lalu bisa langsung turun berenang di pantai. Bayangan ini pun berputar 180 derajat ketika saya tiba di Teluk Semut, lokasi pemberhentian kapal yang hanya saya tumpangi selama 10 menit dari Sendang Biru. Dengan kata lain, Teluk Semut merupakan pos perantara Pantai Sendang Biru dengan Pulau Sempu.

Langkah pun dimulai. Bayangan untuk tiba di pantai dan bisa langsung berenang pun berangsur surut. Perlahan langkah semakin berat. Saya dan teman-teman tersadar kalau sandal yang kami gunakan tidak sanggup terangkat kembali karena tanah yang kami pijak begitu lembek dan dalam. Alhasil, satu per satu dari kami merelakan sepasang kaki ini berkenalan dengan jalur trekking menuju Sempu. Hujan semalaman nampaknya telah mengakibatkan tanah hutan menjadi becek dan lembek. Hal ini semakin menyulitkan kami berjalan sekaligus menantang kami untuk lebih berkawan dengan alam.


Tak pernah terbayangkan oleh saya, ada pantai di balik hutan belantara seperti itu. Mungkin rombongan kami kurang beruntung saat itu karena mendapati jalur trekking yang tidak bersahabat.  Perasaan takut akan pacet atau binatang melata lainnya di hutan begitu meraung. Pikir saya, seberat inikah pergi ke sebuah pantai yang mungkin tidak akan seindah yang saya bayangkan.

1,2,3 jam berlalu.. Kaki sudah tidak lagi pandang bulu. Segala pijakan yang memungkinkan untuk diinjak, kami injak dengan penuh keyakinan. Akibat tekad yang begitu besar, beberapa dari kami ada yang tertusuk akar atau ranting kecil yang tertutup dengan tanah. Dan ini kali pertama saya melihat orang menangis di dalam hutan. Perasaan campur aduk terutama bingung harus berbuat apa. Saya hanya bisa berdoa supaya kaki ini bisa utuh hingga pulang kembali ke Jakarta.

Hutan menuju Pulau Sempu cukup sempit karena vegetasi alam cukup lebat. Beberapa pohon besar melintang menutupi jalur trekking. Akar-akar pohon besar menjalar menuruni gundukan tanah. Sesekali kami merangkak menapaki gundukan akar yang bergelombang. Untuk menambah semangat, senyuman pun sesekali dilemparkan meskipun kaki tercabik-cabik dan hati terkhianati dengan kesialan jalur trekking ini. 

Perlahan suara deburan air terdengar. Bau laut terhirup segarnya. Kaki pun terhipnotis secepat mungkin melangkah. Sampai-sampai saya lupa sama rombongan yang masih tertinggal di belakang. Yasudahlah.. Pasang gigi 5..!

Surga pun terbuka. Api neraka mulai mereda seketika melihat air hijau segara anakan dari sela-sela pohon di pinggir hutan. Hingga akirnya mata saya dihadapkan dengan segara anakan dibalik hutan dan Samudera Hindia, ini dia Pulau Sempu. Pulau yang dibatasi dengan tebing ini menjadi sebuah fenomena alam pantai terindah di timur Pulau Jawa. Pantai yang membuat penghuninya lupa akan adanya perkotaan dan kemacetan nun jauh disana. (bersambung ke #2 Pulau Sempu)


#2 Pulau Sempu: Hai Hujan Malam !

"Bak langit-langit dome yang dihiasi bintang-bintang, pemandangan Pulau Sempu malam itu mulai saling bertawar dengan perasaan hati yang terkhianati oleh suasana hutan belantara siang tadi.."

Tanpa kami sadari jam sudah menunjuk pukul 2 siang sesaat kami tiba di pulau ini. Dan tanpa kami sadari pula, empat jam waktu kami sudah terenggut di dalam hutan. Tiba saatnya kami bersantai sejenak mengistirahatkan sendi dan otot yang tegang. Kegiatan berenang di pantai baru akan dimulai (akhirnya). Kaki-kaki kami agaknya cepat atau lambat mengeruhkan air pantai menjadi kecoklat-coklatan. Ibarat pulang dari pasar masuk ke rumah yang baru saja dipel, seperti itulah kaki kami keluar dari hutan kemudian datang ke pantai.


Cuaca terik matahari membuat warna air segara kian menghijau. Meskipun berendam dengan cuaca seperti ini dapat membakar kulit, saya dengan cuek mengenakan celana cukup pendek dan kaos hitam agak ketat. Ikan-ikan kecil berenang di pojok-pojok segara dapat terlihat dengan jelas karena air segara yang begitu jernih.

Di tengah keasikan saya berendam, ada kabar yang seketika membuat galau hati ini. Jam kedatangan kami di Pulau Sempu terlalu siang,sedangkan kami masih perlu trekking lagi keluar hutan untuk kembali ke tujuan kami semula. Hal ini perlu dipertimbagkan mengingat kami tidak bisa berjalan di hutan tanpa ada penerangan. Dan yang paling membuat gundah adalah kami tidak membawa perlengkapan untuk menginap minimal tenda peristirahatan dan senter. Bahkan hanya sedikit yang membawa bekal perjalanan. Saat itu saya hanya membawa roti, biskuit, dan aqua 1 stengah liter. Pulau ini juga terbilang irit air tawar bahkan mustahil bisa bertemu sumber air tawar. Semakin galau, semakin kami mendaftarkan kekurangan-kekurangan yang kami miliki dan bahaya-bahaya yang mungkin kami hadapi apabila tetap nekad menyusuri hutan di malam hari. Akhirnya, hasil musyawarah sepakat memutuskan untuk menginap di Pulau Sempu dengan keterbatasan yang kami miliki.

Senja pun tiba. Beberapa pengunjung Pulau Sempu mengeluarkan peralatan camping-nya dan mulai menyalakan lampu minyak yang dibawanya. Di sudut lain, kami terpojok sambil berpikir apa yang harus kami perbuat. Satu per satu mulai bergerak mencari kayu-kayu bakar dari ranting-ranting pohon sambil menahan lapar perut ini. Salah seorang dari rombongan mencoba menghubungi orang di Sendang Biru untuk mengirimkan bala bantuan bagi kami kaum yang lemah dan sotoy ini. Sambil menunggu bantuan datang, kami mengumpulkan bekal yang ada di dalam tas dan memilih bekal mana yang bisa sementara menyumbat rasa lapar ini sebelum nasi bungkus datang. Sisa bekal disimpan di dalam tas untuk sarapan mini esok pagi. Berbagi biskuit malam itu penuh dengan perhitungan dan keikhlasan. Tiba-tiba teringat adegan Mr.Bean yang penuh perjungan hanya untuk makan sepotong roti dengan ikan super kecil. Sembari menunggu beberapa kamera memotret penampakan saya dengan rambut lepek dan muka berminyak. Ini hal yang paling membetekan ketika seusai berenang di laut kemudian rambut tidak tersentuh air tawar.


Malam semakin mengahampiri kami. Dan bintang-bintang di atas langit Pulau Sempu mulai menyapa bertebaran dengan indahnya. Dengan beralaskan sarung yang di-share bersama dua senior saya di atas pasir pantai, saya menyaksikan keindahan alam malam itu. Ini merupakan intermezzo terindah kala menunggu bala bantuan datang dari seberang sana. Bak langit-langit dome yang dihiasi bintang-bintang, pemandangan Pulau Sempu malam itu mulai saling bertawar dengan perasaan hati yang terkhianati oleh suasana hutan belantara siang tadi.

Akhirnya dua orang relawan (mas-mas) datang dari dalam hutan gelap membawakan kami tenda dan nasi bungkus. Saya tidak tahu apa isi nasi bungkus tersebut karena gelapnya malam dan ketidaksanggupan lagi untuk memprediksi daging yang saya makan. “Mungkin ayam, ya sepertinya ayam, agak pedes.” Yang penting kenyang.

Waktunya membuat api unggun dan tenda. Saat itu saya merasa buta sebuta-butanya bukan hanya karena tidak ada penerangan tetapi buta dengan cara membuat tenda dari terpal. Laki-laki mulai berpikir dan berpikir. Lebih tepatnya lagi mengakali bagaimana supaya terpal ini bisa menjadi tenda peristirahatan. Setelah 1 jam berlalu, tenda karya kami pun bediri dengan penuh keragu-raguan. Hahaha. Bagaimana tidak, tenda ini hanya diikatkan dengan pancang-pancang kayu seadanya. Yang penting jadi tenda dua sisi (tenda sesungguhnya 5 sisi).

Hanya rombongan perempuan yang dapat menikmati tidur di dalam tenda amatir kami. Dan laki-laki dengan jantannya tidur di atas pasir pantai. Sedikit demi sedikit mata kami terpejam. Malam dan angin menyatu sampai akhirnya kilat dan petir menyambangi Pulau Sempu. Titik-titik hujan membesar dan terjadilah hujan cukup lebat sehingga tenda yang kami bangun tidak cukup sanggup menahan perihnya angin yang menerpanya. Panik. Kami semua berusaha membubarkan diri dari tenda dan pantai yaitu dengan cara mengevakuasi rombongan ke tenda-tenda rombongan lain. Ini adalah cara terbaik yang kami pikir jauh lebih aman daripada bertahan dengan kemampuan kami sendiri. (bersambung ke #3 Pulau Sempu)

#3 Pulau Sempu: Hai Hewan Nakal !


Tibalah saya dan tiga teman lainnya di tempat pengungsian alias di bawah fly sheet yang terpancang di dahan-dahan pohon. Disitu ada beberapa laki-laki pemilik fly sheet, kompor gas kecil, dan panci berisi rebusan air. Indahnya melihat rebusan air dan teh celup yang siap diseduh dalam gelas plastik. Kami duduk dengan manis sekali malam itu. Sikap pemalu kami pun disapa ramah dengan segelas teh hangat dan sepiring mi goreng. Inilah hikmah dibalik ancaman. Entah bagaimana keadaan teman-teman di tenda-tenda evakuasi lainnya. Apakah mereka juga disapa dengan ramah seperti kami disini. Yang jelas saya sangat menikmati perbincangan basa-basi dengan mas-mas Jawa ini sambil memperhatikan kostum yang mereka kenakan. Saya pikir kostum mereka begitu hangat dan lengkap melindungi sekujur tubuh masing-masing. Kaos kaki, topi rajut, jaket, celana panjang. Di sisi lain, dresscode saya lebih into the wild daripada mereka, yaitu kaos, celana pendek, dan sandal jepit. Antara Into the wild dan into the hell beda tipis sih rasanya.

Malam terasa seabad berganti menjadi pagi. INGIN PULANG. Akibat kedatangan kami di tenda mas-mas ini, kami sedikit kurang menghabiskan persediaan air yang mereka miliki. Namun, akal cerdik kami tidak sebanding dengan yang mereka miliki. Air hujan yang tertapung di atas fly sheet dimasak dan jadilah teh manis. Hahaha. Yang penting sudah dimasak. Di sela-sela waktu berbincang, saya melihat ada beberapa binatang kecil putih berjalan di pasir pantai. Besarnya seperti nasi putih hanya saja mereka memiliki kaki. Hewan apakah itu?

Setelah hujan reda, kami kembali ke titik dimana tenda kami berdiri beberapa jam lalu. Kami berkumpul dan dengan cuek tidur di atas  pasir pantai lembab akibat hujan. Ada yang kedinginan karena baju basah kuyup, ada yang dinyamukin, ada yang gatel-gatel, dan sebagainya. Kami menyambut pagi dengan penuh keceriaan meskipun agak sedikit kaget dengan muka seorang teman yang merah seperti ditabok oleh lebah. Ternyata mukanya digigit nyamuk kemudian ia garuk hingga bisa membengkak seperti itu.

Kami merapikan barang-barang bawaan. Berfoto-foto sebentar dan berbagi roti sisa bekal.  Kami berdoa bersama dan bersiap menapaki kembali jejak-jejak yang kami tinggalkan kemarin di hutan. Dan tanah hutan pun lebih becek dan licin dari kemarin. Kalau kemarin kami menghabiskan waktu 4 jam, sekarang kami menghabiskan waktu 7 jam dari Pulau Sempu hingga Teluk Semut. Medan yang kami lewati terasa lebih berat untuk teman kami yang juga berbadan berat. Sesekali terpleset, tertawa, mengangis, dan terdiam kembali. Bahkan ada yang berpikir untuk menelpon tim Sar. Hahaha

Saya ingat sekali saat kami akhirnya sampai di Teluk Semut. Ada seorang laki-laki yang berkata kepada saya,”Mba, ini rombongan yang tadi pagi berangkat lebih pagi dari kami kan?”. Saya agak ragu menjawab karena tidak ingat dengan wajah laki-laki ini. Laki-laki itu pun berkata lagi,”Iya saya jalan setelah kalian sudah berjalan”. Dalam hati, “oke lo lebih cepat daripada gue, selesai”. Mungkin laki-laki itu terkejut dengan kedatangan kami yang jauh lebih lambat daripada dia. Ya memang kali ini rombongan kami kalah banyak tetapi kami tidak kalah dengan binalnya jalur trekking hutan dan Pulau Sempu yang cukup menguji fisik dan mental kami. Perjalanan Teluk Semut-Sendang Biru dilanjutkan selama 10 menit. Berat hati meninggalkan Pulau Sempu tetapi tak apa lain kali kesana lagi mungkin dengan orang yang berbeda dan tentunya cuaca lebih baik. Saya dan teman-teman kembali ke Jakarta.

Dan beberapa hari kemudian, timbul bintik-bintik merah di sekujur kaki saya seperti bentol-bentol yang dahsyat sekali gatalnya. Balsem panas sampai bedak gatal saya pakai untuk mengurangi rasa gatal. Saya menyerah dan pergi ke dokter untuk mengobati kaki yang sudah buruk rupa ini. Dokter pun memberikan salep gatal yang cukup ampuh mengurangi bintik-bintik merah tersebut. Ternyata beberapa teman juga mengalami hal yang sama seperti saya. Dan saya pun tersadar bahwa hewan-hewan nasi berkaki itu adalah penyebab penyakit ini. Hewan ini memang hidup di pantai tidak hanya di Pulau Sempu tetapi beberapa pantai lainnya. Dan hewan ini berpotensi menggigit tanpa ada rasa apapun meskipun akhirnya menyebabkan rasa gatal yang amat sangat. Terimakasih untuk kutu babi yang telah memberikan oleh-oleh dari Pulau Sempu !