"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Minggu, 12 Agustus 2012

Thailand: Sawadee Ka!

Keluar di Terminal B, Gate 7, Bandara Suvarnhabumi Bangkok, saya disapa dengan beberapa orang yang sebelumnya hanya saya kenal melalui blackberry messenger saya. Mereka adalah karyawan kantor travel dimana saya akan dipekerjakan sementara selama di Thailand. Ya, perjalanan saya kali ini memang lebih bermanfaat dibanding jalan-jalan yang biasa saya lakukan karena disini saya diberi kesempatan untuk meraup pengalaman-pengalaman baru, teman-teman baru, dan pendapatan baru tentunya. Suatu peristiwa yang tidak pernah saya pikirkan terjadi dalam hidup saya pasca kelulusan universitas. haha. Saya bisa bekerja sambil jalan-jalan di negara yang belum pernah saya injak sebelumnya. Menurut rencana, saya akan menghabiskan waktu saya selama 13D12N di Bangkok dan Pattaya!

Pertama kalinya saya tiba di kota Bangkok. Kurang lebih 1 jam perjalanan Bandara Suvarnhabumi ke Bangkok. Lancar bukan main perjalanan menuju Bangkok. Namun, sesaat tiba di kota Bangkok, jalan raya mulai memadat terutama ketika melewati beberapa objek wisata candi seperti kawasan Grand Palace yang dipenuhi dengan wisatawan dan pedagang kaki lima. Untuk masuk ke kawasan candi dan kuil-kuil, para wisatawan diharuskan mengenakan pakaian yang tertutup. Apabila terlanjur mengenakan pakaian pendek, kita bisa sewa kain penutup dengan deposit uang 100 baht yang nantinya akan dikembalikan lagi saat pengembalian kain. Memasuki lokasi Grand Palace, kita akan disapa dengan  patung Yak raksasa yang bertugas menjaga Grand Palace. Dahulu tempat ini merupakan kediaman raja dan ratu Thailand. Di dalam Grand Palace, ada patung Budha yang bajunya harus diganti tiap 6 bulan sekali. Hanya raja atau putra raja yang bisa menggantikan pakaian Budha tersebut.

Cuaca terik bersentuhan dengan kulit orang-orang Jakarta yang merasa kaget dengan panasnya matahari kota Bangkok siang itu.

Jari-jari Sleeping Budha di Wat Pho
Kami memutuskan untuk turun di depan sebuah objek wisata bernama Wat Pho. Jangan lupa untuk melangkahi palang kayu yang ada di bawah pintu kuil. Kita tidak boleh menginjak palang kayu itu karena untuk menghormati dewa/dewi yang dipercaya menjaga pintu kuil tersebut. Di dalam Wat Pho, kita dapat melihat Sleeping Budha yang panjangnya 15 meter. Selain itu, dengan menukarkan 20 bath, kita bisa mendapatkan 108 koin yang nantinya dapat dimasukan ke mangkok-mangkok yang sudah dijejerkan di depan Sleeping Budha. Sambil mencemplungkan koin ke dalam mangkok, kita bisa mengucapkan doa dan harapan. Apabila koin-koin tersebut habis sesuai dengan banyaknya mangkok yang tersedia, artinya doa dan harapan kita bisa terkabul. Apabila koinnya kurang atau justru kelebihan, artinya.. ya tidak apa-apa, hahaha. Intinya ini hanya kepercayaan yang selalu dijelaskan kepada para wisatawan. Menurut saya kepercayaan ini ada karena Wat Pho adalah kuil dimana semua orang boleh memanjatkan doanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. 

Selanjutnya, saya menyebrangi Sungai Chao Praya menuju Wat Arun. Pada zaman dahulu, Sungai Chao Praya merupakan jalur transportasi yang digunakan para pedagang-pedagang Cina dan negara lainnya untuk masuk ke Thailand. Di sungai ini, kita juga bisa melihat tanaman eceng gendok yang biasa kita temukan di sungai di Indonesia. Ternyata, dahulu Raja Chulalongkon, raja Thailand ke-5, membawa bibit eceng gendok dari Indonesia kemudian ditanam di sungai tersebut. Kurang lebih 10 menit, saya tiba di Wat Arun. Masih sama dengan Wat Pho, Wat Arun juga merupakan candi sekaligus kuil yang tinggi menjulang dan berwarna-warni. Kebiasaan orang Indonesia di Wat Arun adalah berbelanja kaos-kaos khas Thailand. Toko-toko baju disini sedikit dan sempit. Hanya ada kurang lebih 5 penjual yang menjajakan oleh-oleh kaos, dompet, pernak-pernik, atau perhiasan. Tak usah khawatir dengan kesulitan bahasa dalam berbelanja karena pedagang bisa berbahasa Indonesia. Mungkin sudah terlalu banyak orang Indonesia berbelanja kesini sehingga memaksa pedagang untuk bisa berbahasa Indonesia. Harga kaos berkisar Rp 30.000-Rp50.000,-/kaos.

Di sepanjang kawasan Grand Palace, Wat Pho, dan Wat Arun, saya melihat beberapa penjual togel. Perlu diketahui bahwa di Thailand tidak ada kasino karena dilarang oleh pemerintah. Tapi kalau bicara masalah togel, Thailand sangat melegalkan togel bahkan dijual terbuka di pinggir jalan. Menurut info yang saya dapatkan, undian akan diumumkan tiap 2 minggu sekali, tiap tanggal 1 dan 16 bulan tertentu. Nantinya, uang bisa diambil di bank yang bekerjasama dengan pihak togel-togel tersebut, hahaha.

Pemandangan kota Bangkok memang tidak jauh berbeda dengan Jakarta, namun untuk hal yang satu ini kita tidak akan pernah menjumpai di kota Jakarta. Melintasi jalan-jalan di kota Bangkok, kita dapat melihat foto-foto narsis Raja Bumi Adulyadet, Ratu Siringkit, dan putra-putri raja. Masa muda raja dan ratu juga terekam dalam foto-foto berukuran besar sekali (berapa R ya itu??). Ukuran foto-fotonya sebesar-besar spanduk kampanye kalau di Jakarta. Betapa berharganya Raja dan Ratu bagi masyarakat Thailand. Ini merupakan suatu bentuk penghormatan kepada keluarga kerajaan dari masyarakat kepada raja penyuka warna kuning dan ratu penyuka warna biru tersebut. Kebetulan, tanggal 12 Agustus, hari dimana saya tiba di Bangkok merupakan hari kelahiran Ratu Siringkit yang ke-80. Saya dan masyarakat Thailand mengenakan baju berwarna biru untuk menyenangkan hati Ratu Siringkit waktu itu. 

Memang unik sekaligus menarik bagi kita wisatawan asing untuk menyaksikan foto-foto keluarga kerajaan di jalan-jalan kota Bangkok. Kita tidak secara langsung benar-benar disambut oleh Raja dan Ratu Thailand sesaat menginjakan kaki di City of Angels ini.

From Thailand to Rinjani: Breathless!

Hai.. kembali lagi saya bertandang di blog kesayangan saya ini. Hampir menginjak 1 bulan ini, saya melakukan perjalanan yang tidak pernah saya harapkan terjadi. Ada dua tempat yang saya kunjungi selama pertengahan Agustus menuju awal September. Pertama, perjalanan menuju ke negara tempat dimana makanan Tomyam dan kebebasan orientasi seksual bersatu padu menjadi sebuah sajian wisata yang menarik untuk dinikmati. Ya, jalan-jalan ke Thailand gratis plus akomodasi gratis semua-semuanya bahkan diberikan uang untuk berbelanja adalah level keberuntungan tertinggi di bulan Agustus saya.


Selanjutnya, perjalanan kedua, selang sehari saja setelah tiba di Jakarta dari Thailand, saya menuju gunung tertinggi ke-3 di Indonesia, Gunung Rinjani nan cantik. Trekking gila, sakit jiwa, trauma pasir gembur, dan kaki bengkak kurang lebih menggambarkan bagaimana susah payah mendaki gunung 3.726 mdpl tersebut. Wah, tapi rasa sesal itu nampaknya surut ketika bertemu Segara Anak bak danau-danau di Canada. Pokoknya, yang namanya SABAR dan NIAT seseorang itu terlihat ketika mereka berhasil mencapai Puncak Rinjani. Intinya semua perjalanan saya kali ini saya wakilkan dengan satu kalimat: "Tidak ada yang mustahil!"

Tidak peduli tidak cum laude, yang penting kaki ini berhasil menginjak Puncak Rinjani, hahaha...
Selamat membaca postingan Thailand dan Rinjani saya berikutnya :)