"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Senin, 26 Desember 2011

#010 Orang Bajo : Kehidupan Bermasyarakat



sumber : internet
Orang-orang Bajo suka sekali berkunjung dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya. Dengan adanya kunjungan itu mereka bias memperkuat hubungan tali silaturahmi mereka. Orang-orang Bajo memasukkan orang lain ke dalam pandangan hidupnya tentang kehidupan. Menurut mereka, mengasingkan diri dari kelompok adalah suatu hal yang tidak wajar. Kunjungan dan percakapan adalah hal yang sangat penting bagi orang Bajo. Orang-orang Bajo juga dikenal dengan orang-orang yang tidak suka memaksa. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang sangat hormat kepada orang yang lebih tua. Dalam kehidupan bermasyarakat, Orang-orang Bajo tidak biasa menyembunyikan pikiran dan perasaan mereka. Bila ada orang yang menyimpan rahasia, maka bias dipastikan orang itu tidak menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Kebiasaan hidup orang-orang Bajo adalah hidup terbuka. Ketika berbicara, orang-orang Bajo tidak suka bertele-tele dan langsung kepada poin pembicaraan.

Mayarakat Bajo menitikberatkan keturunan dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Menurut mereka, anak cucu adalah visi masa depan mereka. Mereka beranggapan dengan adanya seorang anak (terutama anak sulung) bias mengangkat derajat kehidupan mereka. Dalam kehidupan orang Bajo, tidak baik bila pasangan suami istri tidak mempunyai anak. Bila pasangan ini tidak mempunyai anak, lingkungan disekitar mereka akan bingung memanggil nama mereka. Suami dan istri di masyarakat Bajo juga tidak memanggil suami atau istrinya dengan nama kecilnya. Biasanya suami istri ini akan dipanggil sebagai Paman Piana dan Bibi Piana. Seorang istri yang menyebut nama suaminya dianggap katula. Didalam kehidupan sehari-hari, perasaaan hormat kepada yng lebih tua sudah ditanamkan sejak dini. Orang tua mengajarkan istilah-istilah panggilan sesuai dengan kelompok-kelompok saudara. Bares  (kelompok paman-paman yang lebih tua daripada orangtuanya), Bares Pua (paman-paman, bibi-bibi, saudara-saudara, sepupu), Danakang (saudara laki-laki dan perempuannya), Ndi (adik-adiknya), Ka (kakak-kakaknya), Puto (sepupu perempuannya dan sepupu laki-lakinya dari Ayah).

#09 Orang Bajo : Ikiko (Sejarah Orang Bajo)

Orang bajo yang melakukan ritual atau upacara sebelum berlayar. Tujuannya bukanlah untuk mendapatkan ikan yang melimpah akan tetapi untuk keselamatan dari para nelayan Bajo tersebut. dalam masyarakat Bajo tidak ada ajaran atau kewajiban-kewajiban yang sifatnya resmi. Tidak ada tanggal untuk upacara tertetu. Ha-hal tersebut hanya dilaksanakan apabila dibutuhkan saja. Masyarakat Bajo juga mengenal hirarki dalam hubungan keluarga. Seperti keluarga jauh (Bares Teo), keluarga dekat (Bares Tutuku) serta keluarga yang tinggal dalam satu atap yang disebut dengan Dapparanakan. 

Keluarga inti dalam masyarakat Bajo memiliki dua fungsi. Pertama, keluarga inti termasuk keluarga yang diperluas dan desa. Kedua, keluarga inti memainkan peranan prokreasi yang menjamin keturunan, pendidikan (meskipun lemah), pengasuhan anak-anak, mekipun anggota keluarga lain juga melakukannya. Dalam penelitian ini tidak hanya Zacot yang melakukan penelitian, Kat istrinya juga melakukan penelitian yang lebih spesifik kepada perempuan Bajo yang dalam buku ini saying sekali tidak dipaparkan secara rinci. Pada bab ini dilampirkan beberapa foto yang diambil Zacot dalam penelitiannya. Foto-foto tersebut memperihatkan kehidupan masyarakat Bajo sehari-hari. Dongen pada masyarakat Bajo juga memiliki peranan yang besar. Melalui dongeng, masyarakat Bajo dipersiapkan menjadi individu yang memiliki tanggung jawab yang besar sebagai orang tua dan menggungah kepekaan anak-anak Bajo pada realitas masa depan Bajo. Orang Bajo juga memiliki istilah untuk menyebut oang diluar Bajo yaitu Bagai dan untuk sesama Bajo disebut dengan Sama

#08 Orang Bajo : Kehidupan Bermasyarakat

Zacot dan Kat istrinya hidup selayaknya orang Bajo yang bisa dikatakan penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian dalam memeroleh makanan dan air minum (air tawar: boe). Karena hal-hal pokok tersebut hanya bisa didapatkan di darat. Untuk itu, untuk mendapatkan air tawar, orang Bajo harus mengambilnya didarat atau membeli dari orang Bajo lainnya yang memiliki penampung air yang besar. Bahan makanan mereka dapatkan dari laut yaitu ikan, atau dari orang-orang darat yang berjualan dengan perahu. 
Orang Bajo suka sekali meminta sesuatu dari orang lain meskipun barang yang diminta tersebut tidak berharga, tidak berguna atau bahkan tidak dibutuhkan oleh orang yang meminta tersebut. Contohnya, mereka meminta obat-obatan yang dimiliki oleh Zacot dan Kat. Obat-obatan tersebut pada kenyataannya tidak dikonsumsi oleh orang Bajo karena mereka masih sangat percaya kepada dukun. Kebiasaan unik tersebut sebenarnya hanyalah salah satu sifat orang Bajo dalam berkomunikasi atau berbasa-basi agar dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya. 
Hal lain yang dicermati oleh Zacot adalah kegiatan perekonomian orang Bajo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zacot, orang Bajo melakukan kegiatan perekonomian terkesan hanya suatu formalitas saja. Karena pada kenyataannya mereka dapat mendapatkan segala sesuatu sendiri dan dengan cara yang sederhana. Orang Bajo menganggap uang sedikit menyulitkan karena pada mulanya mereka menggnakan sistem barter. Itulah kenapa orang Bajo memilih untuk hidup dengan sederhana dan tidak tunduk dengan uang dan kekayaan. 
Orang Bajo memiliki pandangan tersendiri terhadap anak perempuan yangmasih remaja. Mereka menganggap bahwa mereka ada dalam ‘usia tak tahu diuntung”. Hal ini dikarekan anak perempan Bajo banyak menghabiskan waktu dengan hanya bermalas-malasan. Kedekatan antara masyarakat Bajo sering disebut-sebut dalam buku ini untuk menggambarkan bahwa masyarakat Bajo memiliki hubungan yang kuat satu sama lain. Terlihat dari bagaimana mereka saling mengawasi dan mengingatkan satu sama lain. Penelitian Zacot juga menghasilkan informasi yang menyatakan bahwa orang Bajo sebenarnya sudah mengenal agama, akan tetapi mereka tetap saja memegang kepercayaan animisme. Hal tersebut terlihat dari eratnya pengetahuan mereka dengan setan dan dukun. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan. Islam berusaha untuk diakui secara resmi akan tetapi animisme juga sulit untuk dilepaskan. 

#07 Orang Bajo : Rumah dan Perahu Kehidupan di atas Air

Rumah yang hanya memiliki dapur dan ruang utama yang masing-masing berukuran 6 meter tersebut berisi sebuah tempat tidur, sebuah meja dan tiga buah kursi. Deskripsi diatas menunjukan bahwa orang Bajo Torosiaje sudah puas dengan kehidupan yang sederhana. Menurut mereka yang terpenting adalah perlengkapan yang berhubugan dengan kegiatan mereka dengan laut (menangkap ikan). Hal tersebut memperlihatkan eratnya hubungan antara orang Bajo dengan laut. Oleh karena hal tersebut orang Bajo sangat mencintai perahunya. Bahkan ada orang Bajo yang tinggal dalam rumah perahu (Leppa). Di dalam rumah perahu tersebut biasanyya diisi oleh 5-7 anggota keluarga. 
Zacot berusaha untuk mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan keluarga dalam leppa, akan tetapi ada beberapa hambatan. Yang pertama, dikarenakan informan merupakan orang Bajo yang sudah tua, maka mereka menggunakan bahasa Bajo yang susah untuk dimengerti. Yang kedua adalah orang Bajo yang tinggal di dalam leppa tersebut tidak nyaman bertemu dengan orang asing. Untuk itulah Zacot tidak dengan mudah mendapatkan informasi yang diinginkan. Dalam bab ini dijelaskan pula bahwa menurut sejarah, masyarakat Bajo terbagi menjadi dua yaitu bangsawan dan budak. 
Disimpulkan bahwa urutan status sosial tersebut meniru kebudayaan Bugis atau bahkan, lebih baru lagi, kebudayaan Gorontalo. Ada hal menarik yang diceritakan dalam bab ini yaitu orang Bajo sangat menyukai musik keroncong. Ada empat atau lima buah radio kaset yang akan diperdengarkan bersama-sama oleh seluruh warga. Kehidupan orang Bajo yang sederhana juga berpengaruh dengan kepribadian masing-masing individunya. Mereka adalah pribadi yang rendah hati dan memiliki kebiasaan menjelek-jelekan kesalahan mereka dan orang lainlah yang akan memberikan pujian sebagai timbal baliknya.

#06 Orang Bajo : Pernikahan Adat Muda-mudi Suku Bajo Torosiaje sebagai Jalan Tengah Pertentangan dari Orang Tua (2))



Hal menarik lainnya terkait dengan hubungan pemuda-pemudi masyarakat suku Bajo adalah apabila seorang gadis hamil di luar nikah, maka lelaki yang menghamilinya diharuskan membayar denda sebesar sepuluh ribu rupiah diikuti dengan berlakunya hukum adat dan instansi agama yang mengharuskan mereka untuk menikah. Sementara itu, apabila seorang pemuda dan seorang gadis ditemukan sedang mengobrol di malam hari, mereka diharuskan untuk menikah. Ketatnya peraturan masyarakat suku Bajo dalam hal pergaulan pemuda-pemudi merupakan wujud betapa sakralnya nilai sebuah kehormatan keluarga dan adat suku Bajo tersebut. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan kehidupan Zacot dan kehidupan masyarakat Indonesia modern saat ini, yaitu ketika pernikahan tidak lagi dipandang sebagi suatu hal yang sakral. Pemberian sanksi merupakan bentuk kekukatan hukum adat yang sudah lama diberlakukan oleh masyarakat suku Bajo. Pada kasus lain, apabila salah satu masyarakat suku Bajo menikah di luar dengan seseorang yang berasal dari suku lain, maka suku Bajo harus mengikuti adat pasangannya yang berasal dari suku lain tersebut. Demikian sebaliknya, jika suku lain datang dan menikahi salah seorang suku Bajo di tempat bermukimnya masyarakat Bajo, maka orang tersebut harus mengikuti adat Bajo. Seseorang yang bukan berasal dari Bajo wajib membayar dua kali jumlah 1.500 rupiah (pananga) dengan alasan bahwa orang yang berasal dari suku lain tersebut tidak akan menetap di desa masyarakat suku Bajo, ia hanya numpang lewat saja.

 Berdasarkan pengalaman yang dituliskan oleh Zacot tentang masyarakat suku Bajo, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat suku Bajo adalah masyarakat tradisional yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka. Merek sama sekali tidak bergejolak terhadap arus modernisitas yang melingkupi kehidupan mereka. Kesederhanaan dan kecintaan mereka terhadap lautan telah menjadikan masyarakat Bajo identik dengan pengembara laut ulung. Masyarakat Bajo juga mengajarkan kita untuk menjadi seorang yang bijak melalui penyelesaian masalah yang senantiasa dilakukan dengan jalan kekeluargaan, yaitu dengan bermusyawarah. Hal ini tergambar jelas dalam upacar ningkolo. Meskipun dalam penulisannya, Zacot sempat menarik kesimpulan yang salah mengenai adat ningkolo, namun Zacot kemudian berhasil secara implisit mengklarifikasi bahwa masyarakat suku Bajo adalah masyarakat yang sangat mementingkan sebuah komunikasi antar-pihak dalam menyelesaikan masalah.

#05 Orang Bajo : Pernikahan Adat Muda-mudi Suku Bajo Torosiaje sebagai Jalan Tengah Pertentangan dari Orang Tua (1)

Hal yang menarik dalam kisah perjalanan Zacot di desa Torosiaje adalah pelaksanaan upacara adat perkawinan antara muda-mudi yang tidak direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita. Apabila merujuk pada kehidupan masyarakat kota modern, pernikahan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak keluarga calon pemelai biasanya dibatalkan sehingga menyebabkan kekecewaan bagi salah satu pihak. Namun, hal ini tentu saja sangat berbeda dengan suku Bajo yang sangat menjunjung tinggi nilai sebuah permusyawarahan untuk mencapai sebuah kemufakatan dalam menyelesaikan setiap masalah melalui tata upacara adat yang dipimpin oleh kepala adat yang dituakan. Beberapa upacara adat untuk menyelesaikan masalah tersebut diantaranya adalah ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk memohon izin kepada keluarga calon pemelai yang tidak menyetujui pernikahan atau sillayang (penculikan). Namun, masyarakat suku Bajo lebih memilih upacara ningkolo (duduk) dalam menyelesaikan masalah karena upacara ini lebih bersifat kekeluargaan.

Tata cara pelaksanaan upacara ningkolo menekankan pentingnya sebuah diskusi antara dua keluarga yang akan bersatu. Mungkin dalam masyarakat kita, upacara ini sama halnya dengan lamaran. Pada upacara ini, kepala adat menjadi penengah di anatara dua keluarga, dan dalam pertemuan itu, pihak calon pemelai laki-laki menawarkan jumlah uang sebagai mas kawin kepada pihak calon pemelai perempuan untuk disetujui. Mas kawin yang ditawarkan adalah uang berjumlah 50.000 rupiah yang terdiri atas dua bagian, yaitu 1500 rupiah (pananga) yang telah diperhitungkan oleh adat, ditambah uang untuk biaya pesta perkawinan. Tawar-menawar akan terus berlangsung melalui kepala adat sebagai penghubung sehingga mencapai sebuah kesepakatan jumlah mas kawin di antara kedua belah pihak.

Apabila diamati secara kasat mata, upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Bajo ini menunjukkan sikap matrealistis yang begitu kental. Namun sebenarnya, uang dalam arti upacara tersebut hanya memainkan peran artifisial karena yang terpenting dalam upacara tersebut adalah dipertemukannya kedua keluarga dan keharusan untuk mengenal satu sama lain. Hal ini senada dengan apa yang dituliskan oleh Zacot dalam bukunya bahwa, “…yang lebih penting lagi adalah keharusan untuk berbicara, kehormatan dan juga besarnya perhatian yang dinyatakan orang atas pesta” (Zacot, 2002:93).  Berbicara tentang kehormatan, pada masyarakat suku Bajo, hubungan pergaulan pemuda-pemudi menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi antara pemuda-pemudi suku Bajo, maka sanksi akan diberlakukan tidak hanya oleh kepala adat, tetapi juga oleh agama dan pejabat pemerintah lainnya.

Kamis, 22 Desember 2011

#04 Orang Bajo : Perkenalan Masyarakat Pulau Nain

Pulau Nain yang konon katanya telah berdiri sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu ini terbagi menjadi dua bagian dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang hampir sama. Bagian pertama ditinggali oleh suku Siau (berasal dari nama pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Manado dan merupakan bagian dari pulau Sanghir) yang beragam Kristen, dan bagian lainnya dihuni oleh suku Bajo yang beragama Islam. Masyarakat suku Bajo sangat identik dengan kedekatannya dengan lautan sehingga tempat tinggal suku Bajo dibangun di atas air atau selalu dekat dengan laut. Mereka menolak untuk tinggal di daratan dan mengikuti pola hidup orang daratan karena bagi masyarakat ini, lautan memiliki peran vital dalam kehidupan mereka. 

Salah satu bentuk keterikatannya dengan lautan ditunjukkan melalui kebiasaan masyarakat suku Bajo yang lebih senang mengkonsumsi ikan dibandingkan daging, dan hanya sedikit mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Keunikan dari masyarakat Bajo di pulau Nain adalah tidak adanya konsep kekeluargaan dalam pinjam meminjam barang. Dengan kata lain, jika salah seorang anggota keluarga meminjam perahu atau jala dari salah satu anggota keluarag atau orang lain untuk menangkap ikan di laut, maka, mereka tidak bisa mendapatkan pinjaman tersebut secara cuma-cuma, melainkan harus membayarnya. 

Tidak hanya itu, masyarakat suku Bajo juga memiliki kepercayaan bahwa setiap hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh dari berlayar harus diserahkan sebagiannya kembali ke lautan. Hal ini senada dengan sebuah ungkapan yang hidup dalam masyarakat suku Bajo, yaitu sesudah para nelayan kembali dari menangkap ikan, sebagian hasilnya harus “dikembalikan kepada jala”. Demikianlah perkenalan singkat Zacot dengan suku Bajo di pulau Nain. Namun, beberapa minggu berusaha menjalin hubungan masyarakat suku Bajo di pulau Nain, Zacot merasakan ada banyak misteri yang sulit untuk diungkapkan olehnya dalam mengidentifikasi suku tersebut. Hal inilah yang kemudian memunculkan berbagai macam pertanyaan di benak Zacot sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menemukan jawabannya pada masyarakat suku Bajo di desa Torosiaje.

#03 Orang Bajo: Tak Ada Jarak di antara Kita

“Tak ada jarak di anatara kita”. Ungkapan ini mungkin cocok untuk menggambarkan seberapa terbukanya tiap individu-individu orang Bajo. Mereka adalah masyarakat dengan keterbukaan dan solidaritas tinggi antar sesama penduduk. Hal ini dapat dilihat dalam cara mereka berkomunikasi dan bersikap di kehidupan sehari-hari.

sumber : internet

Orang Bajo terbiasa untuk berkomunikasi tanpa melihat langsung lawan bicaranya. Mereka dapat berada di jarak yang tidak saling berdekatan. Misalnya, seseorang dapat berada di bawah rumahnya jika ia berperahu, atau rumahnya di sebelah lain “jalan”, atau bahkan lebih jauh lagi, di sebelah lain desa (lereng yang berlawanan). Zacot menceritakan bahwa seorang Bajo mengajak ia berbicara dengan jarak 20 meter dari hadapannya. Lalu bagaimana mereka dapat berkomunikasi? Mudah saja, orang Bajo memang sudah dilatih sejak kecil untuk berkomunikasi dengan suara keras dan lantang. Budaya mengeluarkan suara keras dan teriakan sama pentingnya dengan pelajaran berjalan, mendayung dan menangkap ikan bagi anak-anak Bajo. Mungkin lingkungan mereka akan terlihat seperti pasar, bukan hanya karena lalu-lalang aktivitas penduduk tetapi juga teriakan-teriakan perbincangan jarak jauh yang semakin meramaikan suasana. Bagaimana ya jika suatu hari mereka semuanya harus dipindahkan ke daratan dengan pemukiman yang berdekat-dekatan. Nampaknya cukup seru untuk melihat mereka berbincang dengan suara keras walau jarak terasa begitu dekat.
Kebiasaan berkomunikasi lainnya adalah kebiasaan orang Bajo mengomentari setiap pembicaraan. Tidak ada pembicaraan yang tidak dikomentari dan dibahas antar orang Bajo. Tidak ada yang tertutup antar satu individu dengan individu lainnya. Setiap hal harus dikomentari di depan umum bahkan dengan suara keras. Orang Bajo juga suka menyelidiki urusan orang lain, mencari tahu, bertanya-tanya tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan orang lain. Ini merupakan hak setiap orang. Masing-masing mereka bahkan tidak mengggu seseorang untuk bertanya tentang dirinya, melainkan menceritakan langsung tentang keadaan mereka ke orang lain. Bias dibayangkan bagaimana terbukanya tiap individu orang Bajo akan kehidupan pribadi dan keluarga mereka. Apakah mungkin tidak akan pernah ada istialh ‘aib’ di antara orang-orang Bajo ini?
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang Bajo melakukan barter sesuai kebutuhan yang diperlukan. Proses barter biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan seorang anak perempuan ke rumah tetanggga (lawan barter) untuk meminta ikan, air atau jeruk, dll. Pada kesempatan itu orang yang ditujunya berhak untuk meminta rempah-rempah atau sesuatu yang kebetulan sedang dibutuhkan dan tak dipunyainya saat itu. Apabila ia tidak memiliki barang yang diminta, ia akan berjanji untuk memberikan barang tersebut di kesempatan lain. Dengan begitu pengunjung tidak akan mengurangi persediaan tuan rumah.


Jumat, 16 Desember 2011

#02 Orang Bajo : Hidup dan Mati di Tangan Tuhan atau Setan? (2)

sumber ; internet
Umumnya, orang Bajo memberikan sajen kepada Setan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit. Jenis sajen yang diberikan harus berdasarkan jenis penyakit yang diderita. Jenis penyakit tersebut dapat dideteksi dengan kepercayaaan mereka akan perantara atau wakil-wakil Setan yang hidup di laut, yaitu ikan gurita, kuta, dan buaya. Mereka adalah perantara Setan yang memberikan penyakit kepada orang Bajo. Maka dari itu, dukun akan memeriksa binatang mana yang nantinya harus bertanggung jawab atas penyakit yang diderita. Biasanya semua penyakit ditandai dengan demam.

Kalau kepala dan tangan (ujung-ujung anggota badan) si sakit panas, maka ikan guritalah yang bertanggung jawab, karena “ikan gurita hidup di air, di tengah karang-karang.” Kalau dukun melihat bahwa hanya bagian perut ke atas yang panas sedangakan tangan dan kaki dingin, maka penyebabnya adalah buaya, karena “ketika buaya merayap ke darat, hanya sebagian tubuhnya yang terbenam di dalam air sedangkan kepalanya terkena sinar matahari” (hlm.258). Selanjutnya, dukun akan membuat rumah-rumahan berukuran 30 cm dan mengisi rumah tersebut dengan sajen yang sepantasnya diberikan kepada binatang yang bertanggung jawab atas penyakit (prosesi sajen ikan gurita untuk menyembuhkan Ua Kosa, hlm. 260-264). Adapun sajen yang diberikan adalah raki untuk ikan gurita, tuli untuk buaya, dan anca untuk taraf terakhir jika demam masih terus berlangsung.


“Setan bukan apa-apa. Jadi sajen kami persembahkan kepada jin yang baik, yaitu jin Islam yang merasuk ke dalam tubuh dukun dan yang menyembuhkan kami”. Ini merupakan alasan dari orang Bajo mengenai kepercayaan mereka akan Setan dan pamali-pamali. Mereka menunjukkan bahwa orang dapat sekaligus tidak mempercayai Setan tapi menerima pamali-pamali tersebut. Orang Bajo memiliki kemampuan bersifat ganda. Sifat ganda tersebut diperlihatkan dengan tindakan kepala adat untuk mencabut bendera putih yang biasanya ditancapkan di depan desa untuk mengusir Setan. Kepala adat sesungguhnya tidak percaya kemanjuran sajen dan adanya Setan yang dapat mencabut jiwa seseorang. Namun, ia mengakui bahwa Setanlah yang membuat orang sakit dan mengobatinya, jadi ia harus diberi makan. Dengan, fakta-fakta di atas, Zacot menyimpulkan bahwa orang Bajo terkadang menyembunyikan prinsip-prinsip kebudayaan yang mereka yakini dengan berkedok alasan yang lebih logis sebagai sebab terjadinya penyakit atau kematian seseorang.

Kamis, 15 Desember 2011

#01 Orang Bajo : Hidup dan Mati di Tangan Tuhan atau Setan? (1)

 Sebelum membaca buku ini, saya tidak pernah mengetahui bahwa orang Bajo mempunyai sebuah hubungan yang serius dengan Setan. Kedekatan mereka dengan Setan nampaknya tidak begitu diketahui oleh orang Indonesia pada umumnya….

“Setan!” ucap seorang perempuan yang nampaknya pucat dan ketakutan ketika melihat seekor penyu yang mati di belakang rumah Zacot. Ia tidak memperbolehkan Zacot mendekati penyu (boko) tersebut. Ia menjelaskan bahwa binatang apapun yang telah mati, mereka telah menjadi milik Setan. Hubungan kematian dengan Setan tidak hanya diberikan pada binatang tetapi juga kematian manusia. Suatu hari, di desa Torosiaje terjadi sebuah tragedy yang menakutkan semua penduduk. Adalah kematian seorang nelayan laki-laki sepulangnya dari melaut. Orang-orang memamnggil dokter untuk mendiagnosis mayatnya. Berbagai prediksi seperti tekanan darah dan angin yang kuat sebagai penyebab kematian, bermunculan dalam perbincangan penduduk. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini menarik untuk ditelusuri.

Kenyataannya, orang Bajo tidak perlu mendapatkan penjelasan dari dokter atau pengobatan ketika seseorang sakit atau mati. Mereka sudah dapat mengetahui penyebabnya. Penyebab itu adalah akibat melanggar pamali atau larangan. Ketika mereka melanggar pamali, Setan akan menghukum mereka. Adapun beberapa Pamali atau larangan bagi orang Bajo, sebagai berikut :

- Tidak menyebut nama penyakit ketika tidak ada orang yang sedang mengalami penyakit tersebut, sebab dengan menyebutkan nama penyakit itu saja sudah cukup mendatangkan penyakit itu.
- Pada saat raki, tidak diperbolehkan memotong buah kelapa, menaiki rumah orang sakit dengan kaki basah atau membawa air laut ke dalamnya. Keluarga si sakit tidak boleh mencoba-coba untuk meinta air atau korek api atau bara api dari yang lain, dsb.
- Tidak boleh melaut ketika orang tersebut hendak menikah apalagi menangkap ikan dengan serampang.
- Tidak menyebutkan binata (binatang) ketika sedang melaut. Kata binatang yang dimaksud diganti dengan kata alolo. Misalnya, “kemarin kami melihat seekor kerbau yang…” menjadi “kemarin kami melihat seekor alolo yang…”. Jika dilanggar akan binatang yang disebut namanya akan mendatangkan badai bagi pelaut.

#00 Orang Bajo

Saya bermimpi untuk bertemu dan bermain dengan Orang Bajo suatu hari nanti…..


Orang Bajo
sumber : internet

Semua cerita tentang orang Bajo di dalam tulisan-tulisan yang saya dan teman-teman akan tulis merupakan cerita yg dikisahkan oleh seorang antropologi Perancis, Francois-Robert Zacot. Ia menceritakan semua pengalamannya bersama orang Bajo.  “Saat itu orang Indonesia tak mengenal suku ini padahal merupakan bagian dari warisan budaya Indonesia. Orang Bajo yang dukunya suku pengembara laut ingin menyendiri, sengaja menghindar, tak terkungkung. Mereka muncul dan menghilang di berbagai pesisir dengan cara mereka sendiri, yang memperkuat rasa janggal yang ditimbulkan oleh cara hidup mereka di laut”.


Kadang tertawa dan juga sedih dirasakan ketika melihat cara orang Bajo hidup dan bersikap. Saya percaya masih banyak teman-teman juga yang bertanya orang Bajo itu memang tinggal di bagian mana pulau-pulau di Indonesia. Tempat tinggal orang Bajo memang tersebar. Nenek moyang mereka tidak hanya mengarungi lautan Indonesia tetapi juga lautan di seluruh penjuru dunia. Orang Bajo yang menganggap dirinya sebagai ‘orang laut’ mengatakan bahwa laut tidak memiliki batas, siapapun dapat tinggal dan hidup di laut. Itu jaman dahulu…. Kalau sekarang kita masih bisa mengatakan pernyataan yang sama dengan orang laut, saya dan teman-teman juga pasti sangat bahagia sekali karena kita bisa melewati laut dan samudera di dunia tanpa izin dan menikmati pulau-pulau tak berpenghuni. Selamat membaca!

Kamis, 08 Desember 2011

Only Dream

"Tidak ada yang baru di bawah matahari". Bahkan,"Serupa tapi tak Sama". Kembali ke satu titik yang sama. Membosankan. Seperti kalimat-kalimat sebelum kalimat ini.

Banyak kata-kata hebat, gambar-gambar indah, bahkan pemenang yang akan menjadi pemenang selamanya. Tidak ada ukuran yang melebihi seorang dia.

Perbandingan muncul seperti biasa. Kemudian, Iri pun hadir. Seketika Amarah dan Benci datang bersamaan tanpa harus diundang. Membiarkan Niat terkunci dalam kamar gelap. Niat ingin berteriak keluar bersama Tindakan.

"Tidak bisa. Lihat, itu lebih hebat. Itu lebih indah!"

Pengakuan lama tak kunjung datang untuk menyelamatkan. Dan Niat pun tertidur semakin lelap dalam Mimpi semata.

Only Human

Diatas semuanya itu. Mahluk ini sama saja seperti mahluk lainnya. Merasakan apa yang disebut cinta dan kasih sayang. Mengungkapkan kebahagian yang lebih dari aliran kata-kata manis dalam botol kaca. Yang bisa pecah, tumpah ruah, tak terbendung. Atau bahkan kesedihan pun menghambat. Kegagalan menutup kebahagian. Hanya setitik saja. Lalu ia berubah. Keinginan mengalir dalam mimpi dan cita-cita. Terus mengalir. Dan melebihi realita yang seolah berkuasa atas kita, Manusia.