"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Senin, 09 Januari 2012

Rafting Pertama Kalinya

november 2011 (adventure)



Pengalaman kali ini bisa dibilang cukup menantang. Saya dan teman-teman Mapala UI divisi rafting mengadakan perjalanan singkat ke Citarik. Sebenarnya saya cuma sekedar ikut-ikutan aja dengan anak-anak yang lebih dikenal dengan anak Arjer (Arung Jeram). Tujuan mereka ke Citarik untuk kesekian kalinya ini adalah berlatih menjadi skipper dan membawa awak yang belum pernah berhadapan dengan jeram seperti saya ini.


Camping Ground
Kalau banyak orang biasanya mengikuti paket wisata arung jeram di Citarik dengan membayar skipper dan perahu, saya tidak membayar paket tersebut. Kebetulan perlengkapan teman-teman arjer saya ini cukup lengkap. Mereka membawa dua perahu merk Avon dan Basemarine beserta peralatan lainnya, seperti dayung, helm, pelampung, dan dry bag.

Kami sampai di camping ground Citarik malam hari menjelang subuh. Pagi hari, kami sarapan terlebih dahulu, kemudian mengenakan baju dan perlengkapan yang nyaman saat rafting nanti. Selanjutnya, kami menyewa mobil pick-up untuk mengangkut kami dan perahu-perahu rafting. Persiapan perahu dimulai dengan memompa dan membuat simpul di sekitar perahu. Setelah semua siap, kami memulai dengan pemanasan dan latihan defense di air apabila terlanjur jatuh ke sungai. Nampaknya, keberuntugan kurang berpihak. Saya gagal mengikuti petunjuk yang diarahkan oleh teman saya. Badan yang cukup langsing ini sepertinya kurang dapat menguasai arus sungai saat itu. Untungnya, ada 1 orang lagi yang juga pertama kali mencoba rafting jadi saya ngga norak sendirian,hehe.Setelah latihan defense, saya ditunjukan beberapa teknik mendayung, yaitu dayung ke depan, ke belakang (block), dan ada juga tarik (saya agak kurang paham ini buat apa, nanti saya tanya lagi,hehe). 

Pompa Perahu Manual
Menjadi skipper cukup sulit daripada yang saya bayangkan. Tapi sejujurnya saya tidak pernah membayangkan skipper di arung jeram itu seperti apa dan bagaimana ia memimpin awak untuk mengarahkan dayung mereka. Teman-teman arjer pun bergantian berlatih menjadi skipper. Seorang skipper memang harus cepat berpikir dalam mengambil keputusan. Ketepatan mengambil arus juga menentukan posisi perahu yang dibawa. Setiap awak juga harus sigap mendengar setiap instruksi yang diberikan skipper. Maka dari itu, orang yang daya tangkapnya kurang dan mudah panik diharapkan untuk tidak terlalu berminat dengan rafting (menurut saya loh).

Hari pertama rafting, arus kurang deras sehingga pergerakan perahu juga cukup lamban. Kami juga harus kuat-kuat mendayung. Hari kedua rafting, saya lebih menikmati karena arus lebih kuat dengan ketinggian air yang pas (lupa berapa). Saya sempat terjatuh ke sungai dan langsung ditarik oleh salah satu teman saya ke dalam perahu layaknya karung beras. Namun, entah kenapa, setelah berhari-hari rafting badan saya terasa gatal di beberapa bagian. Mungkin air sungai yang tidak bersahabat dengan kulit atau kulit saya yang tidak mau berteman dengan air sungai Citarik,haha.


Saya memang sepertinya sudah terjebak dalam latihan arung jeram yang cukup singkat dan keras, haha. Pundak dan lengan pegal-pegal akibat mendayung. Tetapi saya cukup beruntung karena dengan biaya 160rb, saya sudah bisa menikmati camping ground dengan tenda beralaskan kasur tipis dan mengarungi jeram dengan teman-teman yang paham dengan kegiatan yang menantang ini.

Senin, 02 Januari 2012

#011 Orang Bajo : Peraturan-peraturan, Dunia Bajo dan Dunia Setan, Rahasia Terakhir Negeri Antah-Berantah

Salah satu hal yang unik dari kepercayaan suku Bajo adalah mereka menyangkal penggunaan kata “timur”. Arah timur, yang lazim digunakan dan diucapkan oleh orang-orang pada umumnya untuk menunjukkan lokasi atau tempat dalam navigasi, menjadi semacam pamali untuk diucapkan. Penyebab dan alasan dari tidak digunakannya kata “timur” untuk menunjukkan arah timur masih tidak diketahui dengan jelas. Si penulis menarik kesimpulan bahwa arti dan asal muasal larangan-larangan yang dipercayai di suku Bajo itu sudah dipatuhi selayaknya larangan itu sendiri sehingga tidak pernah dipertanyakan asal muasalnya. Sebagai pengganti penunjuk arah timur, suku Bajo menjelaskan arah dengan menggunakan penyebutan tempat geografis yang namanya diketahui semua orang. Selain mengganti penggunaan kata “timur” dengan tempat geografis yang diketahui semua orang, orang Bajo juga sering menggunakan kata “selatan” sebagai rujukan untuk arah timur. Lalu bagaimana dengan arah selatan yang sesungguhnya? Apakah mereka tidak akan salah mengerti dengan menggunakan kata “selatan” untuk menunjukkan arah timur? Uniknya, orang Bajo tidak pernah salah mengerti dan mereka mengetahui apakah “selatan” yang dimaksud itu benar-benar arah selatan atau merujuk ke arah timur.
Lalu selain larangan penggunaan kata timur, orang Bajo sangatlah kental dengan tradisi lisan. Mereka melestarikan budaya lisan ini lewat apa yang disebut sebagai pakannaang yang artinya cerita utama. Selain untuk melestarikan budaya dan cerita nenek moyang, melalui pakannaang masyarakat Bajo dapat mempererat hubungan sosial dan kekeluargaan di antara mereka. Hal ini disebabkan karena saat bercerita, orang-orang Bajo berkumpul di sekeliling tukang cerita dan mereka sangat menghargai suasana yang tercipta melalui penceritaan tersebut. Orang-orang Bajo juga merasakan perasaan gembira saat membentuk kelompok kecil untuk mendengarkan cerita si tukang cerita. Hal-hal kecil seperti ini sudah menjadi sama pentingnya bagi orang Bajo sepenting cerita itu sendiri. Melalui pakannaang inilah orang Bajo dapat mengungkapkan adat istiadat mereka, menampilkan diri mereka, serta mengekspresikan kepekaan mereka.
Satu hal lain yang sangat penting bagi orang Bajo tentu saja adalah laut. Orang Bajo dan lautan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Salah satu bentuk kedekatan orang Bajo dengan laut adalah dengan cara membuang ari-ari bayi yang baru lahir ke laut. Dibuangnya ari-ari ke laut menunjukkan bahwa semangat hidup (sumanga) suku Bajo yang berasal dari ari-ari berasal dari laut dan tidak dapat lepas dari laut. Menurut salah satu orang Bajo, “orang membuang ari-ari ke laut agar ia melancarkan hubungan orang Bajo dengan laut, agar si anak berenang dengan baik ketika ia muda, dan agar di kemudian hari ia mengikuti orang tuanya ke laut. Dengan demikian jiwanya selalu terarah ke laut”. Kuatnya hubungan orang Bajo dengan laut membuat mereka lebih memilih untuk tinggal dan hidup berpindah-pindah di laut daripada menetap di daratan.
Masyarakat suku Bajo mempercayai berbagai macam kepercayaan karena itu mereka tidaklah mempercayai konsep kekuatan tunggal yang sama. Namun walaupun tidak percaya kepada kekuatan tunggal, orang Bajo juga menjalankan puasa layaknya seperti ajaran di dalam agama Islam. Dalam kaitannya dengan dunia Bajo dan dunia setan, orang Bajo percaya bahwa hubungan antar manusia sama saja seperti hubungan manusia dengan setan. Bila dijelaskan lebih lanjut hubungan orang Bajo dengan setan sama saja perumpamaannya seperti saat orang (manusia) memberi dan menerima sama halnya dengan orang mempersembahkan dan mendapatkan sesuatu kembali dari setan. Dahulu, hubungan manusia dengan setan terjalin dengan baik. Namun lama kelamaan, manusia tidak dapat mematuhi aturan-aturan yang ada sehingga setan kini dapat berbuat jahat kepada manusia. Sesungguhnya, pada zaman terdahulu, setan merupakan istilah bagi roh apa saja yang dapat bersifat baik maupun jahat. Contohnya saja seperti roh penyembuh, roh sakit, dan lain sebagainya. Istilah “setan” sesungguhnya dipercaya berasal dari agama Islam. Kini, istilah “setan” digunakan untuk merujuk kepada kekuatan jahat, roh jahat tertentu yang berbeda dari roh lainnya dan tidak mempunyai hubungan baik dengan orang Bajo.