"Journey, it's not about where you go, where you stay, but how you enjoy it with or without friends. Be grateful" - Mine

Senin, 26 Desember 2011

#05 Orang Bajo : Pernikahan Adat Muda-mudi Suku Bajo Torosiaje sebagai Jalan Tengah Pertentangan dari Orang Tua (1)

Hal yang menarik dalam kisah perjalanan Zacot di desa Torosiaje adalah pelaksanaan upacara adat perkawinan antara muda-mudi yang tidak direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita. Apabila merujuk pada kehidupan masyarakat kota modern, pernikahan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak keluarga calon pemelai biasanya dibatalkan sehingga menyebabkan kekecewaan bagi salah satu pihak. Namun, hal ini tentu saja sangat berbeda dengan suku Bajo yang sangat menjunjung tinggi nilai sebuah permusyawarahan untuk mencapai sebuah kemufakatan dalam menyelesaikan setiap masalah melalui tata upacara adat yang dipimpin oleh kepala adat yang dituakan. Beberapa upacara adat untuk menyelesaikan masalah tersebut diantaranya adalah ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk memohon izin kepada keluarga calon pemelai yang tidak menyetujui pernikahan atau sillayang (penculikan). Namun, masyarakat suku Bajo lebih memilih upacara ningkolo (duduk) dalam menyelesaikan masalah karena upacara ini lebih bersifat kekeluargaan.

Tata cara pelaksanaan upacara ningkolo menekankan pentingnya sebuah diskusi antara dua keluarga yang akan bersatu. Mungkin dalam masyarakat kita, upacara ini sama halnya dengan lamaran. Pada upacara ini, kepala adat menjadi penengah di anatara dua keluarga, dan dalam pertemuan itu, pihak calon pemelai laki-laki menawarkan jumlah uang sebagai mas kawin kepada pihak calon pemelai perempuan untuk disetujui. Mas kawin yang ditawarkan adalah uang berjumlah 50.000 rupiah yang terdiri atas dua bagian, yaitu 1500 rupiah (pananga) yang telah diperhitungkan oleh adat, ditambah uang untuk biaya pesta perkawinan. Tawar-menawar akan terus berlangsung melalui kepala adat sebagai penghubung sehingga mencapai sebuah kesepakatan jumlah mas kawin di antara kedua belah pihak.

Apabila diamati secara kasat mata, upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Bajo ini menunjukkan sikap matrealistis yang begitu kental. Namun sebenarnya, uang dalam arti upacara tersebut hanya memainkan peran artifisial karena yang terpenting dalam upacara tersebut adalah dipertemukannya kedua keluarga dan keharusan untuk mengenal satu sama lain. Hal ini senada dengan apa yang dituliskan oleh Zacot dalam bukunya bahwa, “…yang lebih penting lagi adalah keharusan untuk berbicara, kehormatan dan juga besarnya perhatian yang dinyatakan orang atas pesta” (Zacot, 2002:93).  Berbicara tentang kehormatan, pada masyarakat suku Bajo, hubungan pergaulan pemuda-pemudi menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi antara pemuda-pemudi suku Bajo, maka sanksi akan diberlakukan tidak hanya oleh kepala adat, tetapi juga oleh agama dan pejabat pemerintah lainnya.

Tidak ada komentar: