"Bak langit-langit dome yang dihiasi bintang-bintang, pemandangan Pulau Sempu malam itu mulai saling bertawar dengan perasaan hati yang terkhianati oleh suasana hutan belantara siang tadi.."
Tanpa kami sadari jam sudah
menunjuk pukul 2 siang sesaat kami tiba di pulau ini. Dan tanpa kami sadari
pula, empat jam waktu kami sudah terenggut di dalam hutan. Tiba saatnya kami
bersantai sejenak mengistirahatkan sendi dan otot yang tegang. Kegiatan
berenang di pantai baru akan dimulai (akhirnya). Kaki-kaki kami agaknya cepat
atau lambat mengeruhkan air pantai menjadi kecoklat-coklatan. Ibarat pulang
dari pasar masuk ke rumah yang baru saja dipel, seperti itulah kaki kami keluar
dari hutan kemudian datang ke pantai.
Cuaca terik matahari membuat
warna air segara kian menghijau. Meskipun berendam dengan cuaca seperti ini
dapat membakar kulit, saya dengan cuek mengenakan celana cukup pendek dan kaos
hitam agak ketat. Ikan-ikan kecil berenang di pojok-pojok segara dapat terlihat
dengan jelas karena air segara yang begitu jernih.
Di tengah keasikan saya
berendam, ada kabar yang seketika membuat galau hati ini. Jam kedatangan kami
di Pulau Sempu terlalu siang,sedangkan kami masih perlu trekking lagi keluar
hutan untuk kembali ke tujuan kami semula. Hal ini perlu dipertimbagkan mengingat
kami tidak bisa berjalan di hutan tanpa ada penerangan. Dan yang paling membuat
gundah adalah kami tidak membawa perlengkapan untuk menginap minimal tenda
peristirahatan dan senter. Bahkan hanya sedikit yang membawa bekal perjalanan.
Saat itu saya hanya membawa roti, biskuit, dan aqua 1 stengah liter. Pulau ini juga
terbilang irit air tawar bahkan mustahil bisa bertemu sumber air tawar. Semakin
galau, semakin kami mendaftarkan kekurangan-kekurangan yang kami miliki dan
bahaya-bahaya yang mungkin kami hadapi apabila tetap nekad menyusuri hutan di
malam hari. Akhirnya, hasil musyawarah sepakat memutuskan untuk menginap di
Pulau Sempu dengan keterbatasan yang kami miliki.
Senja pun tiba. Beberapa
pengunjung Pulau Sempu mengeluarkan peralatan camping-nya dan mulai menyalakan lampu minyak yang dibawanya. Di
sudut lain, kami terpojok sambil berpikir apa yang harus kami perbuat. Satu per
satu mulai bergerak mencari kayu-kayu bakar dari ranting-ranting pohon sambil
menahan lapar perut ini. Salah seorang dari rombongan mencoba menghubungi orang
di Sendang Biru untuk mengirimkan bala bantuan bagi kami kaum yang lemah dan sotoy ini. Sambil menunggu bantuan
datang, kami mengumpulkan bekal yang ada di dalam tas dan memilih bekal mana
yang bisa sementara menyumbat rasa lapar ini sebelum nasi bungkus datang. Sisa
bekal disimpan di dalam tas untuk sarapan mini esok pagi. Berbagi biskuit malam
itu penuh dengan perhitungan dan keikhlasan. Tiba-tiba teringat adegan Mr.Bean
yang penuh perjungan hanya untuk makan sepotong roti dengan ikan super kecil.
Sembari menunggu beberapa kamera memotret penampakan saya dengan rambut lepek
dan muka berminyak. Ini hal yang paling membetekan ketika seusai berenang di
laut kemudian rambut tidak tersentuh air tawar.

Malam semakin mengahampiri kami.
Dan bintang-bintang di atas langit Pulau Sempu mulai menyapa bertebaran dengan
indahnya. Dengan beralaskan sarung yang di-share
bersama dua senior saya di atas pasir pantai, saya menyaksikan keindahan alam
malam itu. Ini merupakan intermezzo terindah kala menunggu bala bantuan datang
dari seberang sana. Bak langit-langit dome
yang dihiasi bintang-bintang, pemandangan Pulau Sempu malam itu mulai saling
bertawar dengan perasaan hati yang terkhianati oleh suasana hutan belantara
siang tadi.
Akhirnya dua orang relawan (mas-mas) datang
dari dalam hutan gelap membawakan kami tenda dan nasi bungkus. Saya tidak tahu
apa isi nasi bungkus tersebut karena gelapnya malam dan ketidaksanggupan lagi
untuk memprediksi daging yang saya makan. “Mungkin
ayam, ya sepertinya ayam, agak pedes.” Yang penting kenyang.
Waktunya membuat api unggun dan
tenda. Saat itu saya merasa buta sebuta-butanya bukan hanya karena tidak ada
penerangan tetapi buta dengan cara membuat tenda dari terpal. Laki-laki mulai
berpikir dan berpikir. Lebih tepatnya lagi mengakali bagaimana supaya terpal
ini bisa menjadi tenda peristirahatan. Setelah 1 jam berlalu, tenda karya kami
pun bediri dengan penuh keragu-raguan. Hahaha. Bagaimana tidak, tenda ini hanya
diikatkan dengan pancang-pancang kayu seadanya. Yang penting jadi tenda dua
sisi (tenda sesungguhnya 5 sisi).
Hanya rombongan perempuan yang dapat
menikmati tidur di dalam tenda amatir kami. Dan laki-laki dengan jantannya
tidur di atas pasir pantai. Sedikit demi sedikit mata kami terpejam. Malam dan
angin menyatu sampai akhirnya kilat dan petir menyambangi Pulau Sempu.
Titik-titik hujan membesar dan terjadilah hujan cukup lebat sehingga tenda yang
kami bangun tidak cukup sanggup menahan perihnya angin yang menerpanya. Panik. Kami
semua berusaha membubarkan diri dari tenda dan pantai yaitu dengan cara
mengevakuasi rombongan ke tenda-tenda rombongan lain. Ini adalah cara terbaik
yang kami pikir jauh lebih aman daripada bertahan dengan kemampuan kami
sendiri. (bersambung ke #3 Pulau Sempu)